oleh : Lia Wth
~~~~~~~~~ *diambil dari Group Komunitas Aer Itam di FB (20 Mei 2011)
~~~~~~~~~
"Birokrasi gereja yang berlebihan, perebutan kedudukan organisasional gereja yang tidak sehat, dan penggunaan lembaga gereja untuk kepentingan segelintir orang entah itu politik, ekonomi atau budaya dapat dihindari bila gereja menata lembaganya sesuai dengan tujuan keberadaannya.."
Gereja adalah kata dengan banyak makna. Kamus Umum Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa kata gereja merujuk pada bangunan atau rumah sebagai tempat berdoa bagi agama kristen. Pembagian yang lain memahami gereja dengan dari dua sisi yaitu organisme dan organisasi. Organisme gereja menjelaskan sisi keterlibatan aktif anggotanya sementara organisasi menunjukan sisi kelembagaan gereja (Yewangoe, Tak Ada Penumpang Gelap, 2009). Beragam makna kata gereja ini sekaligus menunjukkan kompleksitas kehidupan begereja. Gereja dapat dimaknai sebagai gedung kebaktian, individu atau institusi.
Institusi atau pelembagaan gereja adalah salah satu dimensi gereja yang seringkali dilihat sebagai “batu sandungan” bagi pelayanan. Rumitnya birokrasi dalam gereja dan perebutan jabatan organisasional gereja yang tidak sehat seringkali digunakan sebagai contoh yang membuktikan bahwa pelembagaan gereja dapat menjadi “batu sandungan” bagi pelayanan gereja sendiri. Namun pembuktian ini tidak berarti pelembagaan gereja dapat begitu saja dihapuskan sebab pelembagaan gereja adalah proses yang tidak terhindarkan.
Hadir karena Kebutuhan:
Pdt Dr. Lazarus H. Purwanto menjelaskan bahwa pelembagaan gereja bukanlah sebuah gejala moderenitas tetapi telah ada sejak jemaat mula-mula (Purwanto, Tiga Sistem Penataan Gereja, Bahan Ajar Hukum Gereja, 2008). Kepergian rasul-rasul berakibat pada hilangnya figur pemimpin dalam jemaat mula-mula. Pada saat yang sama banyak bidat-bidat sedang berusaha untuk memengaruhi ajaran dari jemaat mula-mula. Dalam keadaan seperti ini, adanya ajaran yang sistematis merupakan kebutuhan yang tidak terhindarkan. Sayangnya pada masa ini Kanon Perjanjan Baru belum terbentuk.
Kebutuhan akan adanya ajaran yang sistematis ini, sejalan dengan semakin bertambahnya anggota jemaat dalam jemaat mula-mula. Konsekuensi dari bertambahnya jemaat adalah semakin kompleksnya pelayaan. Faktor-fakor kesinambungan ajaran dan kompleksnya pelayanan membutuhkan penataan pelayanan yang sistematis. Dengan demikian pelembagaan gereja menjadi proses yang tidak terhindarkan sebab dengan pelembagaan gereja, sistematisasi ajaran dan pelayanan dapat berjalan.
Mengarahkan Gereja kepada Misi:
Rob van Kessel, seorang tokoh Pembangunan Jemaat, menegaskan bahwa pengalaman-pengalaman bersama dalam bergereja harus distrukturkan dalam sebuah institusi yang nyata. Bila Proses ini diabaikan maka nilai-nilai kristiani dari pengalaman-pengalaman tersebut pun akan hilang (Kessel, 6 Tempaian air, 1997).
Gereja hadir di dunia untuk melaksanakan tujuan keselamatan Allah Trinitas, dengan kata lain gereja hadir untuk melaksanakan misi Allah Trinitas. Sistematisasi ajaran dan pelayanan adalah bagian dari usaha gereja untuk meneruskan dan mewujudnyatakan karya keselamatan Allah Trinitas. Tanpa sistematisasi kisah keselamatan Allah Trinitas, anggota gereja tidak akan dapat memahami ajaran gereja dengan utuh. Demikian juga dengan pelayanan, tanpa sistematisasi pelayanan maka program gereja akan berjalan tumpang tindih dan tidak meyentuh kebutuhan jemaat. Pelembagaan memampukan gereja untuk menjalankan misinya yaitu mewujudnyatakan karya keselamatan Allah Trinitas melalui sistematisasi ajaran dan pelayanan yang nyata.
Menjadi Gereja yang Sadar Diri:
Pendapat Hans Kϋng, seorang teolog menegaskan bahwa proses pelembagaan gereja tidak akan bertentangan dengan hakikat gereja sejauh pelembagaan tersebut dibangun di atas hakikat gereja. Penegasan ini sekaligus mengajak gereja untuk menjadi lembaga yang sadar diri. Memahami tujuan kelembagaannya sehingga mampu menata diri sesuai dengan hakikat dirinya.
Pelembagaan gereja tidak akan menjadi “batu sandungan” bagi pelayanan bila dilaksanakan sesuai dengan hakikatnya sebagai alat untuk melaksanakan misi Allah Trinitas. Birokrasi gereja yang berlebihan, perebutan kedudukan organisasional gereja yang tidak sehat, dan penggunaan lembaga gereja untuk kepentingan segelintir orang entah itu politik, ekonomi atau budaya dapat dihindari bila gereja menata lembaganya sesuai dengan tujuan keberadaannya. Menjadi gereja yang sadar diri adalah panggilan bagi kita semua, baik sebagai individu (organisme) yang merupakan anggota gereja maupun gereja secara lembaga (organisasi) sehingga gereja tidak hanya menjadi “bangunan megah” tanpa makna bagi lingkungan sekitarnya.
Institusi atau pelembagaan gereja adalah salah satu dimensi gereja yang seringkali dilihat sebagai “batu sandungan” bagi pelayanan. Rumitnya birokrasi dalam gereja dan perebutan jabatan organisasional gereja yang tidak sehat seringkali digunakan sebagai contoh yang membuktikan bahwa pelembagaan gereja dapat menjadi “batu sandungan” bagi pelayanan gereja sendiri. Namun pembuktian ini tidak berarti pelembagaan gereja dapat begitu saja dihapuskan sebab pelembagaan gereja adalah proses yang tidak terhindarkan.
Hadir karena Kebutuhan:
Pdt Dr. Lazarus H. Purwanto menjelaskan bahwa pelembagaan gereja bukanlah sebuah gejala moderenitas tetapi telah ada sejak jemaat mula-mula (Purwanto, Tiga Sistem Penataan Gereja, Bahan Ajar Hukum Gereja, 2008). Kepergian rasul-rasul berakibat pada hilangnya figur pemimpin dalam jemaat mula-mula. Pada saat yang sama banyak bidat-bidat sedang berusaha untuk memengaruhi ajaran dari jemaat mula-mula. Dalam keadaan seperti ini, adanya ajaran yang sistematis merupakan kebutuhan yang tidak terhindarkan. Sayangnya pada masa ini Kanon Perjanjan Baru belum terbentuk.
Kebutuhan akan adanya ajaran yang sistematis ini, sejalan dengan semakin bertambahnya anggota jemaat dalam jemaat mula-mula. Konsekuensi dari bertambahnya jemaat adalah semakin kompleksnya pelayaan. Faktor-fakor kesinambungan ajaran dan kompleksnya pelayanan membutuhkan penataan pelayanan yang sistematis. Dengan demikian pelembagaan gereja menjadi proses yang tidak terhindarkan sebab dengan pelembagaan gereja, sistematisasi ajaran dan pelayanan dapat berjalan.
Mengarahkan Gereja kepada Misi:
Rob van Kessel, seorang tokoh Pembangunan Jemaat, menegaskan bahwa pengalaman-pengalaman bersama dalam bergereja harus distrukturkan dalam sebuah institusi yang nyata. Bila Proses ini diabaikan maka nilai-nilai kristiani dari pengalaman-pengalaman tersebut pun akan hilang (Kessel, 6 Tempaian air, 1997).
Gereja hadir di dunia untuk melaksanakan tujuan keselamatan Allah Trinitas, dengan kata lain gereja hadir untuk melaksanakan misi Allah Trinitas. Sistematisasi ajaran dan pelayanan adalah bagian dari usaha gereja untuk meneruskan dan mewujudnyatakan karya keselamatan Allah Trinitas. Tanpa sistematisasi kisah keselamatan Allah Trinitas, anggota gereja tidak akan dapat memahami ajaran gereja dengan utuh. Demikian juga dengan pelayanan, tanpa sistematisasi pelayanan maka program gereja akan berjalan tumpang tindih dan tidak meyentuh kebutuhan jemaat. Pelembagaan memampukan gereja untuk menjalankan misinya yaitu mewujudnyatakan karya keselamatan Allah Trinitas melalui sistematisasi ajaran dan pelayanan yang nyata.
Menjadi Gereja yang Sadar Diri:
Pendapat Hans Kϋng, seorang teolog menegaskan bahwa proses pelembagaan gereja tidak akan bertentangan dengan hakikat gereja sejauh pelembagaan tersebut dibangun di atas hakikat gereja. Penegasan ini sekaligus mengajak gereja untuk menjadi lembaga yang sadar diri. Memahami tujuan kelembagaannya sehingga mampu menata diri sesuai dengan hakikat dirinya.
Pelembagaan gereja tidak akan menjadi “batu sandungan” bagi pelayanan bila dilaksanakan sesuai dengan hakikatnya sebagai alat untuk melaksanakan misi Allah Trinitas. Birokrasi gereja yang berlebihan, perebutan kedudukan organisasional gereja yang tidak sehat, dan penggunaan lembaga gereja untuk kepentingan segelintir orang entah itu politik, ekonomi atau budaya dapat dihindari bila gereja menata lembaganya sesuai dengan tujuan keberadaannya. Menjadi gereja yang sadar diri adalah panggilan bagi kita semua, baik sebagai individu (organisme) yang merupakan anggota gereja maupun gereja secara lembaga (organisasi) sehingga gereja tidak hanya menjadi “bangunan megah” tanpa makna bagi lingkungan sekitarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar