Selasa, 16 Oktober 2012

TEORI DASAR PEMBENARAN



PENGANTAR
Tulisan singkat ini merupakan salah satu masukan bagi diskusi-diskusi di Komar Itam yang menurut hemat saya semakin menunjukan perkembangan yang positif. Melalui postingan ini saya berharap bahwa diskusi kita ke dihari-hari mendatang lebih terarah dalam rangka mencari titik temu dalam argumentasi-argumentasi yang sehat dan jauh dari pretensi negatif.
Topik yang saya pilih kali ini adalah TEORI DASAR PEMBENARAN. Sejatinya topik ini merupakan sebuah “hard topic” yang biasanya dikaji dalam bidang logika dan filsafat ilmu terutama dalam domain epistemologi. Walaupun demikian, saya mencoba untuk menyederhanakan penjelasan topik ini dengan style bahasa yang “agak gaul” dengan harapan kita semua bisa menyelami intisari dari teori pembenaran.
Apa yang dimaksudkan dengan Teori Dasar Pembenaran adalah, prinsip-prinsip dasar yang perlu dipatuhi dalam membangun sebuah argumentasi pembenaran. Atau dengan kata lain, teori dasar pembenaran adalah, prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu penyataan yang dipandang benar. Pada tataran praktis, teori dasar pembenaran ini berhubungan erat dengan hukum dasar penyimpulan yang menjadi domain logika.
Terkait dengan teori dasar pembenaran ini, maka pada bagian pertama ini saya akan secara ringkat membahas tentang teori Fondasionalisme yang banyak digunakan akhir-akhir ini terkait dengan upaya mengkonstruksi sebuah pembenaran.

A. FONDASIONALISME: Beberapa Asumsi Dasar
Fondasionalisme adalah teori pembenaran yang didasarkan pada anggapan dasar bahwa, klaim kebenaran terhadap sesuatu perlu didasarkan pada fondasi atau basis yang kokoh, dan jelas dengan sendirinya sehingga tidak membutuhkan koreksi lebih lanjut. Fondasi yang dimaksud oleh para penganut teori pembenaran ini biasanya berbentuk intuisi akal budi atau persepsi indrawi. Ungkapan seperti: “menurut pendapat saya”, “menurut penglihatan saya”, “perasaan saya mengatakan.....” adalah pernyataanpernyataan pembenaran yang berasal dari paham fondasionalisme ini. Secara umum para penganut teori fondasionalime mebedakan dua macam “kepercayaan” dalam pembenaran yaitu, KEPERCAYAAN DASAR dan KEPERCAYAAN SIMPULAN. Kepercayaan dasar adalah kepercayaan yang sudah jelas dengan sendirinya, sehingga dapat digunakan sebagai fondasi bagi kepercayaan lain yang bersifat simpulan.
Kepercayaan dasar seperti ini bisa dicermati pada kebenaran transenden yang berhubungan dengan hakikat dan keberadaan Tuhan yang tidak memerlukan bantahan. Kepercayaan simpulan adalah kepercayaan yang disimpulkan dari satu atau lebih kepercayaan dasar. Misalnya, semua yang diciptakan Tuhan baik adanya (simpulan dalam riwayat hari-hari penciptaan).
Fondasionalisme dapat dikatakan sebagai sebuah teori pembenaran struktural, sebab simpulan-simpulan yang dibangun didasarkan pada kepercayaan dasar yang sudah benar pada dirinya sendiri. Dengan perkataan lain, jika kepercayaan dasar benar, maka simpulan yang dibangun juga benar (bnd. Simpulan riwayat penciptan dalam Kej. 1). Secara substantif, model pembenaran ini terdapat dalam dua teori dasar tentang kebenaran yaitu kebenaran Tuhan (transenden) dan kebenaran alam4. Berdasarkan karakteristk semacam ini, maka pada dasarnya padangan fondasionalisme mengenai pembenaran bersifat searah dan cenderung asimetris.
Persoalan yang kemudian muncul adalah, mengapa sebuah argumentasi pembenaran harus dikembalikan pada kepercayaan dasarnya? Menurut kalangan fondasionalis ada beberapa alasan mengapa sebuah argumentasi pembenaran perlu dikembalikan pada keercayaan dasarnya.
PERTAMA: menghindari terjadinya infinite regress argument atau penarikan mundur sebuah argumentas secara berulang. Bentuk argumentasi berulang ini biasanya muncul dalam penjelasan yang berputar-putar atanpa arah yang jelas. Dalam kehidupan nyata analogi infinite regress argument ini dapat dipadankan dengan fenomena “cinta segi tiga” atau paham politeisme dalam agama. Bagi para fondasionalis, tidak mungkin sebuah kebenaran didasarkan pada dua atau lebih kepercayaan dasar, sebab jika ini terjadi maka kepecayaan dasar lainnya menjadi lenyap sehingga tidak adalagi kebenaran.
Misalnya: A menjalin hubungan cinta dengan B, C, dan D. Ketika bertemu dengan B, A mengatakan bahwa ia benar-benar mencintai B. Bertemu dengan C dan D, A juga mengatakan hal serupa. Bagi para fondasionalis, kebenaran yang dibangun atas kepercayaan dasar semacam ini tidak dapat dipertanggungjawabkan karena, ketika si A mengakatakan bahwa ia benar-benar mencitai C maka pada saat yang sama, ia tidak lagi mencintai B. Begitu pula ketika ia mengatakan ia benar-benar mencintai D, maka pada saat yang sama ia tidak mencintai C dan B Inilah yang disebut infinite regress argument.
KEDUA: menghindari terjadinya SKEPTISISME pengetahuan. Melalui kepercayaan dasar sebagai fondasi yang tidak membutuhkan pembenaran yang lain, maka sebuah kepastian pengetahuan akan lebih mudah dicapai. Ini biasanya berlaku dalam hukum alam, dan logika matematik.

Misalnya: Hujan turun bumi pasti basah. Dengan kepercayaan dasar semacam ini akan lebih mudah menjelaskan korelasi antara pengetahuan tantang tanah yang basah dengan hujan.

Dalam matematika misalnya ada hukum yang mengatakan bahwa: 
• + dikalikan + = +
• + dikalikan - = -
• - dikalikan - = +
Dengan kepercayaan dasar matamatika tersebut, maka akan lebih mudah untuk mengetahui, operasi dasar aljabar.

Teori pembenaran fondasionalisme merupakan teori pembenaran yang paling lasim digunakan bahkan dalam kehidupan sehari secara sdar atau tidak teori ini digunakan untuk melakukan justifikasi terhadap sesuatu. Secara kategorial, teori pembenaran ini dibagi menjadi dua bagian yaitu: fondasionalisme “kaku” dan fondasionalisme moderat. Bagi para penganut fondasionalisme kategori pertama, agar kepercayaan dasar yang menjadi fondasi pembenaran pengetahuan merupakan kepercayaan yang tak dapat keliru, dan tak dapat dikoreksi lagi, maka sebuah argumentasi pembenaran harus merujuk pada kepercayaan tertentu sebagai “genus proximum” sehingga dapat dijadikan landasan bagi inferensi logis dari kepercayaan dasar tersebut. Beberapa tokoh hard fondasionalism yang dapat dicatat antara lain, Descartes, Leibniz, dan Spinoza dari kalangan rasionalis; Locke, Berkeley, dan Hume dari kalangan empiris; serta Russell, Ayer, dan Carnap dari kalangan positivis logis.
Berbeda dengan fondasionalisme kategori pertama, para penganut fondasionalisme moderat berpendapat bahwa, suatu kepercayaan dapat disebut kepercayaan dasar dan menjadi fondasi pembenaran pengetahuan jika secara intrinsik memiliki probabilitas atau kementakan kebenarannya tinggi. Melalui kata kunci kebenaran probabilitas semacam ini, para penganjur fandasionalisme moderat tidak menuntut adanya implikasi logis atau induksi penuh. Apa yang paling diperlukan adalah “penjelasan terbaik” yang dapat diberikan berdasarkan sebuah kepercayaan dasar. Hampir sebagian besar fondasionalis kontemporer mengikuti jenis fondasionalisme ini, dan tidak ketinggalan teman-teman Komar Itam juga menggunakan cara yang serupa.

B. EVALUASI TERHADAP FONDASIONALISME
Fondasionalisme adalah teori pembenaran paling terkenal dalam epistemologi. Hal itu tidak berlebihan karena teori ini memang cukup menarik sebab memiliki basis empiris pada pengalaman, baik indrawi maupun reflektif, sebagai sumber pengetahuan tentang realitas dan pembenarannya. Kekuatan indrawi merupakan kekuatan utama untuk meperoleh informasi, sementara “penalaran intuitif” dipandang sebagai alat analisis terkait dengan pertanggungjawaban terhap klaim kebenaran. Hal ini dapat dimengerti sebab, ketika berbicara tentang pertanggungjawaban kebenaran, biasanya orang lalu akan mencari alasan dari sumber pengetahuan tersebut. Upaya pencarian penjelasan dari sumber tunggal semacam ini, menyebabkan teori ini terlihat sangat cocok untuk melakukan klaim pembenaran. Model pembenaran semacam ini sangat cocok untuk membangun klaim pembenaran terhadap esensi Tuhan yang transenden, serta esensi kebenaran alam. Selain menarik, teori pembenaran ini juga tidak lepas dari kritik, sebab:
PERTAMA,  hard fondationalism dengan berbagai tuntutannya seperti yang telah dipaparkan, hampir mustahil untuk terpenuhi. Jika tuntutan-tuntutan tersebut tetap dipaksakan, maka apa yang dapat diklaim sebagai pengetahuan yang benar menjadi hampir tidak ada. Implikasinya adalah, kepercayaan-kepercayaan lain yang didasarkan atasnya menjadi amat sedikit dan orang menjadi skeptis terhadap kenyataan dari luar, persepsi, kepercayaan berdasarkan ingatan, induksi, dll. Di sisi lain, fondasionalisme moderat ternyata kurang memberi pendasaran yang kuat bagi klaim kebenaran yang diperlukan. Dengan demikian ia menjadi mirip dengan koherentisme moderat.
KEDUA, pembedaan antara kepercayaan dasar dan kepercayaan simpulan dalam kenyataan juga sulit, sebab apa yang diklaim sebagai kepercayaan dasar, kebenarannya tidak selalu sudah jelas dengan sendirinya bagi setiap orang. Ukuran sebuah kepercayaan untuk dapat dikatakan sebagai kepercayaan dasar tidaklah jelas. Di samping itu, fondasi bagi tiap fondasionalis juga tidak satu dan sama. Apa yang diklaim oleh seorang fondasionalis sebagai kepercayaan dasar yang benar dengan sendirinya, tidak selalu merupakan kepercayaan dasar pula bagi fondasionalis yang lain (ini tampak jelas dalam dikusi terkait dengan ST yang diposting oleh ka Tesar). Pada tataran realitas, apa yang diklaim sebagai kepercayaan dasar ternyata juga merupakan simpulan dari kepercayaan-kepercayaan yang lain, sehingga sulit menemukan sebuah kepercayaan dasar tunggal, kecuali masalah transendensi Tuhan dan esensi kebenaran alam.
KETIGA, masalah infinite regress argument tidak dapat dipandang seagai argumen konklusif, sebab dalam argumen tersebut hanya mengandaikan dua asumsi saja, (1) berhenti pada suatu kepercayaan dasar atau (2) tidak berakhir sama sekali. Pada umumnya fondasionalisme menggunakan asumsi yang pertama, padahal masih ada kemungkinan yang lain, yaitu alasan atau dasar yang saling mendukung antara kepercayaan yang satu dengan kepercayaan yang lain tanpa jatuh ke “lingkaran setan”.

... BERSAMBUNG KE BAGIAN II...

Selasa, 05 Juli 2011

Dia mati menggatikan aku

~~~~~~~~~~
Sebuah Imaginer oleh Wesly Jacob
~~~~~~~~~~

Salibkan Dia…..salibkan Dia…..salibkan Dia……
Sayup-sayup terdengar teriakan itu merambat….merayap di dinding penjara yang kokoh kemudian masuk melalui gendang telinga Barabas. Antara percaya dan tidak Barabas mencoba menyimak arti kata itu.

Salibkan Dia…..salibkan Dia…..salibkan Dia……
Barabas mempertajam pendengarannya. Benarkah kata-kata itu yang terdengar olehnya? “Tidak, tidak! Barabas mencoba menyakinkan diri. “Itu pasti hanya ilusi saja!”. Tapi suara-suara itu terdengar lagi. Kali ini lebih jelas. Dan Barabas segera sadar bahwa apa yang di dengarnya itu bukan ilusi tapi nyata.

Salibkan Dia…..salibkan Dia…..salibkan Dia……
Barabas bisa mendengar suara-suara penuh kemarahan itu dalam teriakan masal.. Suara-suara orang yang telah di kuasai oleh angkara murka. Tiba-tiba Barabas merasa Gentar. Apalagi suara itu terdengar semakin jelas. Itu menandakan masal itu semakin dekat dengan penjara. Dan bukan tidak mungkin masal itu menuju ke penjara. “Menuju ke penjara? Untuk apa?”

Salibkan Dia…..salibkan Dia…..salibkan Dia……
Apakah teriakan itu ditujukan kepada penghuni penjara? Kalau begitu siapakan yang akan menjadi korban? Bukankah tadi pagi telah dibawa dua orang penghuni penjara di sini untuk disalibkan? Apakah penduduk Yerusalem begitu haus darah sehingga menuntut korban penyaliban yang lebih banyak lagi? Barabas mulai menerka-nerka siapakah penghuni penjara ini yang layak menerima hukuman penyaliban? Penghuni di sebelah kirikah? Atau sebelah kanan? Tidak, tidak….mereka berdua belum memenuhi syarat penyaliban. Memang mereka pernah berbuat kekacauan dan keonaran di masyarakat. Tapi apa yang mereka perbuat hanyalah keonaran-keonaran kecil dibandingkan dengan apa yang diperbuat dirinya.

Pemerasan, perampokan, penganiayaan, bahkah pembunuhan. Semua itu merupakan bagian dari hidupnya sehari-hari. Kalau begitu penghuni di lorong yang lain? Tiba-tiba Barabas mendengar pintu penjara dibuka. Engsel pintu yang berkarat menimbulkan bunyi yang menyakitkan telinga. Kemudian terdengar suara langkah kaki memasuki penjara. Makin lama makin jelas dan berhenti di depan pintu kamarnya. Pintu kamarnya terbuka perlahan lalu di depan berdiri dua orang prajurit dengan tombak di tangan.

“Barabas! Seru seorang prajurit dengan suara yang kasar.
“Ya, saya” jawab Barabas. “Keluar!” Barabas semakin yakin bahwa kemalangan itu akan menimpa dirinya. Seruan ya. “salibkan dia” yang didengarnya tadi pasti ditujukan kepada dia dan bayangan mengenai penyaliban demikian mengerikan itu membuat Barabas terpaku di tempatnya.

“Barabas!” seru prajurit itu sekali lagi. Barabas tersentak sadar. “Ya, saya” jawabnya. “keluar!” seru prajurit itu. Barabas melangkah mendekati pintu kamarnya. “Ayo cepat!” desak prajurit yang satu lagi sambil menarik Barabas.

Barabas memandang para prajurit yang menjemputnya tadi dengan penuh tanda tanya. Berusaha mendapatkan jawaban atas keganjilan ini. “Anda dibebaskan” kata prajurit itu. “Bebas? Saya dibebaskan?” ujar Barabas tidak percaya. “Benar, anda dibebaskan” tegas prajurit yang satu lagi. “Bagaimana hal itu bisa terjadi?” tanya Barabas. “Orang yang bernama Yesus itu telah menggantikan engkau untuk menerima hukuman” jawab prajurit.

“Orang yang bernama Yesus? Siapakah dia?” tanya Barabas. “Kami tidak tahu dengan siapakah dia itu. Ada yang mengatakan ia adalah nabi. Ada pula yang berkata bahwa ia adalah Nabi Yeremia. Tapi ia sendiri mengatakan dirinya mesias, anak Allah” jawab prajurit.

“kalau begitu siapakah dirinya yang sesungguhnya?” tanya Barabas. “kalau engkau ingin mengetahui lebih jelas, engkau bisa pergi ke bukit Golgota. Ia telah dibawa ke sana untuk disalibkan” jawab prajurit itu.

“Disalibkan?” tanya Barabas.
“Benar. Karena Ia telah disalibkan lah makan engkau mendapat kebebasan”, jawab prajurit.
“Jadi ia disalibkan untuk menggantikan aku?” tanya Barabas
“Benar. Italah yang kuketahui”, jawab prajurit.
“sudah berapa lama ia dibawa ke Golgota?” tanya Barabas
“Baru saja lewat rombongan pengiringnya. Jika engkau berlari ke sana. Engkau pasti berhasil menyusulnya” jawab prajurit itu.

Tanpa membuang waktu lebih lama lagi Barabas segera berlari ke bukit Golgota dan ia berhasil menyusul rombongan masal itu ke atas bukit Golgota. Ia pun segera berbaur ke dalam rombongan dan berusaha mencari Yesus, orang yang akan dihukum salib itu.

Terkejutlah Barabas, ketika melihat sesosok tubuh telanjang terbaring di atas kayu salib dengan tubuh penuh luka menganga dan tangan serta kakinya yang tertancap paku. “apa yang telah diperbuat orang ini sehingga ia harus dihukum salib? Kesalahan apa yang ia lakukan? Bisik Barabas pada orang-orang di sekitarnya. Tapi semuanya menjawab “tidak tahu”. Satu-satunya jawaban yang Barabas tahu adalah “Dia Mati menggantikan aku”

Quo Vadis Agama

(Suatu Refleksi Analitis Terhadap Eksistensi dan Masa Depan Agama-Agama di Indonesia)
~~~~~~~~
Oleh : Arly de Haan

~~~~~~~


Pendahuluan
Agama merupakan sebuah wadah dimana semua nilai-nilai kebaikan dan keluhuran ditulis, diajarkan dan diamalkan oleh para pengikutnya. Diharapkan dengan mengamalkan semua nilai-nilai yang baik, maka baik umat dalam satu agama, maupun yang berbeda agama, bahkan yang tidak beragama dapat duduk bersama dalam kedamaian, penuh toleransi.
Tetapi, harapan-harapan itu diatas, dalam perjalanannya menunjukkan bahwa kehadiran agama dapat bermakna dan berdampak negatif. Sejarah dunia selama berabad-abad menunjukkan bagaimana satu agama berinteraksi dengan agama lain, agama dan ilmu pengetahuan, dan relasi lainnya. Dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan, agama khususnya agama Kristen dengan teologinya pernah berada di puncak dunia sebagai Queen of Sciences, yang menjadi barometer apakah ilmu itu sesuai dengan ajaran Kristen ataukah tidak. Pada masa ini terjadi banyak perdebatan dan pemblokiran yang akhirnya agama dan ilmu pengetahuan berada di jalur yang berbeda.
Tidak jauh berbeda dengan yang diatas, relasi antara agama-agama di dunia, secara khusus di Indonesia memperlihatkan toleransi berada jauh di bawah kesadaran umat beragama. Fakta memperlihatkan bagi kita bahwa terdapat banyak kerusuhan, penghancuran rumah ibadah, larangan membangun rumah ibadah dan klaim ajaran sesat telah membuat antara satu agama dan agama lain terjadi permusuhan dan peperangan dengan membela agamanya masing-masing. Dengan demikian maka apa yang dikatakan oleh Leo D. Lefebure[1] bahwa kekerasan adalah watak dan ciri-ciri agama adalah tepat untuk dialamatkan bagi agama-agama di Indonesia. Jika terus-menerus begini, pertanyaannya quo vadis agama? Mau kemana agama-agama ini berjalan? Bagaimana keberadaan dan masa depannnya? Semoga tulisan ini mampu menolong kita untuk menjawabnya!

Isi
 A. Apa Itu Agama?[2]
Sebelum kita berbicara mengenai masa depan agama di Indonesia, ada baiknya kita memahami secara lebih jelas apa itu agama melalui definisi-definisi yang telah ada. Istilah agama berasal dari bahasa Latin religio. Pada masa pra-Kristen, Cicero menjelaskan bahwa kata religio berkaitan dengan kata relegere yang berarti “membaca kembali” atau “membaca ulang.” Kata ini kemudian diartikan sebagai way of life dengan seperangkat aturan tentang kebaktian dan kewajiban yang harus dijalankan oleh pengikutnya. Aturan-aturan ini dimaksudkan untuk mengikat seseorang atau sekelompok orang dalam relasinya dengan Tuhan, sesama manusia dan alam semesta.
Kata “agama” juga diserap dari bahasa Sanskerta: a berarti “tidak” dan gama “bergerak”, artinya sesuatu yang dianut dan dianggap pasti dan mengikat bagi yang mempercayainya. Dalam makna seperti ini, dalam bahasa Jawa kuna “agama” berarti “aturan-aturan hukum” yang salah satu aspeknya “kepastian”. Karena itu, kitab undang-undang Majapahit yang berlaku pada zaman Prabu Hayamwuruk (1350-1389 M) disebut Sang Hyang Agama (nama lain dari Kutaramanawa), dan kitab undang-undang yang berlaku pada zaman Prabu Wikramawardhana (1389-1427 M) disebut Sang Hyang Adi Ä€gama.
Sedangkan pengertian yang lain kita peroleh dari Emile Durkheim[3] yang mengatakan bahwa agama adalah sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudus, kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal. Durkheim menekankan pentingnya sifat kudus dan ritual dalam sebuah agama. Dengan demikian, di dalam agama ada sifat kudus dan ritual yang meminta ketaatan, kepatuhan dan keterikatan dari para pengikutnya.

B. Keprihatinan Terhadap Relasi Antar-Umat Beragama di Indonesia
Keterikatan para pengikut suatu agama terhadap agamanya membuat agama menjadi hal yang tak terpisahkan dari diri seorang individu. Oleh karena agama telah menjadi bagian dari diri seseorang, dia terlibat didalamnya maka sulit bagi seseorang untuk bertindak secara obyektif. Hal ini dapat kita lihat dalam kehidupan keberagamaan di Indonesia.
Negara telah menjamin dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat 1 dan 2 bahwa setiap warga negara berhak untuk memeluk agama/kepercayaan dan beribadah sesuai dengan agama/kepercayaannya itu. Dengan konstitusi ini seharusnya setiap orang, siapa pun dia, dari latar belakang apapun berhak untuk memilih dan menganut suatu agama dan berhak mendapat kebebasan dan privasi didalam menjalankan ibadahnya. Tetapi dapat kita temukan di Indonesia kita ini, ada ambiguitas didalam menjalankan konstitusi ini. Negaralah yang mengatur agama yang diakui dan tidak diakui dalam negara ini. Ketika masalah Ahmadiyah merebak, negara turut campur tangan didalamnya, menudingnya sebagai “ajaran sesat” dan melarang umat Ahmadiyah untuk beribadah menurut apa yang diyakininya. Dengan demikian terlihat bahwa negara sendiri melanggar konstitusi yang sudah ada, untuk memberi kebebasan seluas-luasnya bagi warga negara ini untuk menentukkan sendiri kepercayaan/agama yang ingin mereka anut.
Keterikatan yang dituntut oleh agama, telah diterjemahkan secara “aneh” oleh sebagian pengikutnya. Ada yang mengartikan keterikatan dan ketaatan yang dituntut sebagai sebuah klaim absolute, agamanyalah satu-satunya yang paling benar. Hal ini menimbulkan eksklusivisme dan memandang agama lain sebagai yang sesat bahkan “kafir.” Klaim absolute inilah yang kemudian menjadi faktor utama pemicu pertikaian antar-agama. Penganut agama Islam aliran keras berjuang agar Indonesia dapat menjadi negara Islam, terjadi banyak penutupan rumah ibadah dan larangan untuk beribadah. Salah satu fakta terhangat saat ini adalah larangan bagi umat Kristen Protestan (HKBP Pondok Timur Bekasi) dan umat Katolik di Parung-Bekasi untuk beribadah yang mengakibatkan adanya protes besar-besaran.[4] Hal ini menunjukkan adanya dikotomi mayoritas dan minoritas yang kemudian mendorong adanya usaha penaklukkan dari yang mayoritas terhadap yang minoritas.
Berbagai kerusuhan dan pertikaian berbasis agama juga terjadi karena agama dipakai sebagai alat kekuasaan. Hal ini terlihat dari banyaknya pembentukan partai politik yang berlandaskan agama seperti Partai Kedaulatan Rakyat (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Damai Sejahtera (PDS). Partai-partai ini telah menempatkan Indonesia dalam ghetto bahkan apartheid berlandaskan agama.[5]
Ketika kampanye PEMILU berlangsung, banyak diantara partai-partai agama menggunakan ayat-ayat Kitab Suci untuk mensahkan program-program dan tindakan yang mereka lakukan. Hal ini dimaksudkan untuk menarik simpati masyarakat, terutama yang memiliki agama yang sama dengan landasan partai tertentu. Tetapi apa yang dilakukan oleh para pengagas dan pemimpin partai telah menimbulkan perang ayat suci dan juga pertikaian antar-agama.
Fakta-fakta diatas telah menunjukkan bagaimana agama-agama di Indonesia (khususnya Islam dan Kristen) yang seharusnya menjadi pemersatu dan pembawa damai, telah melupakan tugasnya dan menempatkan dirinya sebagai factor utama pemicu kerusuhan dan pertikaian. Jika demikian, maka tepatlah pertanyaan ini diajukan: quo vadis agama?

C. Pertanyaan Kritis : Quo Vadis Agama-agama di Indonesia?
Perjalanan panjang telah dilalui oleh agama-agama di Indonesia, sejak masuknya (karena banyak agama yang diakui di Indonesia adalah hasil misi dan zending dari negara-negara lain) sampai saat ini, agama-agama di Indonesia senantiasa berada dalam proses. Proses ini menggambarkan kepada kita bagaimana perjuangan agama-agama untuk menjadi kuat dan exist di Indonesia, dan proses yang sama pula memberi gambaran agama dalam sebuah ambiguitas, agama dalam dua wajah[6]. Wajah yang satu menggambarkan agama sebagai yang memperbudak. Disini agama muncul dalam sifat-sifatnya yang dogmatis, legalistis, institusionalistis, simbolistis dan ritualistis. Para penganutnya cenderung bersikap fanatik dan tertutup, menempatkan diri dalam sekat, menstereotipkam pihak lain sebagai yang tidak kudus, sehingga mereka harus memelihara kekudusannya sendiri. Hal ini Nampak jelas pada kelompok-kelompok agama fundamentalis yang memegang teguh ajarannya. Sebagaimana aliran Kristen karismatik yang mempertahankan extra ecclesiam nulla salus (tidak ada keselamatan di luar gereja) ataupun kelompok Islam garis keras yang melihat agama-agama lain sebagai “yang kafir” dan adalah tugas mulia bagi mereka, jika mereka menjalankan perang suci (jihad) dengan memusnahkan “yang kafir” dari muka bumi. Hal ini jelas terlihat pada berbagai tindakan terorisme yang terjadi di Indonesia dengan mengusung ajaran dan ayat-ayat Al-Quran.
Agama yang berupaya untuk menghapus “yang lain” seperti yang terjadi di Indonesia menempatkan klaim mutlak dan superior dari satu agama terhadap agama yang lain. Samosir[7] menyebutnya sebagai pola “either-or” yang hanya memposisikan satu agama saja yang benar, yang lainnya salah. Tidak mungkin keduanya benar, karena akan kontradiktif pada dirinya sendiri. Fakta sejarah telah membuktikan pola ini. Lewat Perang Salib, kepentingan politik dibalut dengan perasaan saleh yang “mengharuskan” adanya penyingkiran bangsa Arab yang muslim dari tanah suci Palestina.
Jika apa yang terjadi sekarang akan terus berlanjut, maka agama-agama di Indonesia dapat mati? Mengapa? Dengan menelusuri sejarah agama-agama di dunia, kita dapat melihat kembali bagaimana agama-agama Mesir Kuno dan Persia, Yunani dan Romawi Kuno memegang peranan penting dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat. Tapi kemudian agama-agama ini musnah, karena mereka tidak mampu menjawab tantangan-tantangan pada zamannya. Ada jurang yang cukup besar antara “bahasa agama” dan bahasa manusia. Disini agama terperangkap dalam sisi yang memperbudak dirinya sendiri. Agama menjadi otoriter dan perintah-perintah agama terlampau mengikat sehingga bukannya menjadi sukacita tapi menjadi beban bagi para pengikutnya. Agama hanya menjadi seperangkat ajaran kaku yang memenjarakan umatnya dalam tembok tebal dan melupakan apa yang disekelilingnya. Karena itu, tidaklah heran kita mendapati eksklusivisme agama tingkat tinggi yang menyepelekan keberadaan “yang lain” sebagai yang sama dengan dia. Dengan demikian apa yang disampaikan oleh Hans Kung benar bahwa “tidak ada damai di muka bumi ini, kalau agama-agama tidak berdamai.”[8] Kalau agama bersikukuh untuk tetap berada di jalur ini, saling bersitegang, klaim absolut, fanatisme berlebihan tanpa memberi peluang bagi perdamaian, maka lambat laun agama akan mati.
Kalaua agama tidak ingin mati, maka agama harus menampilkan wajah pembebasan, pembebasan terhadap klaim kemutlakan yang meremehkan keberadaan agama lain, inspirator untuk terjadinya inovasi dan pembaharuan dalam masyarakat. Agama juga harus hadir sebagai yang membangkitkan kesadaran sebuah masyarakat yang berada dalam penindasan untuk bangkit melawan dan mengubah nasibnya.
Berkaitan dengan pembebasan terhadap klaim kemutlakan, yang kemudian mendorong penulis untuk bertanya: bagaimana seharusnya sikap yang harus dibangun antar-agama? Dalam Teologi Kristen, kita mengenal adanya 3 sikap/posisi yaitu eksklusivisme, inklusivisme dan pluralisme yang menurut penulis dapat diadaptasi dengan melihat kondisi kehidupan beragama di Indonesia.
-   Eksklusivisme: ketika satu agama menganggap bahwa dalam agamanya saja yang ada keselamatan, agamanyalah yang paling benar.
-      Inklusivisme: Ketika satu agama bersikap menerima keberadaan agama lain, tetapi tetap menjadikan ajaran agamanya sebagai barometer keselamatan agama-agama lain.
-      Pluralisme: Tuhan (apapun sebutannya dalam agama-agama) adalah misteri yang tak tertebak. Keberadaan Tuhan dan keselamatan-Nya tidak dapat dibatasi oleh agama apapun. Oleh karena itu diantara satu agama dengan agama yang lain dapat melihat Tuhannya sebagai perwujudan dari simbol yang sama dalam person yang berbeda, entah itu: Allah, Yesus, Buddha, Rama, Krishna, dll.
Ketika agama-agama di Indonesia menampilkan elemen pluralis dan menerima keberadaan agama yang lain sebagai yang sama dengannya, maka terbuka kemungkinan untuk adanya “perjumpaan di serambi iman.”[9] Bagi penulis, perjumpaan di serambi iman ini merujuk pada dua hal:
-      Adanya konsensus bersama yang dibangun antara agama-agama di Indonesia, dengan mempertimbangkan nilai-nilai apa dari masing-masing agama yang dapat dipakai untuk menunjang relasi antar-umat beragama di Indonesia. Yang diperlukan disini adalah tampilnya agama-agama sebagai “agama yang terbuka,” yang nampak dari sikap batin (an invard disposition) dan relasi lahiriah (an outward relation).[10] Sikap batin yng dimaksudkan disini adalah kesediaan dan ketetapan hati untuk mempertimbangkan pandangan orang lain dengan jalan menggunakan kemampuan untuk berempati terhadap berbagai reaksi dan dorongan sesama dari kelompok agama manapun, serta merasa turut memiliki apa yang mereka hormati dan anggap suci. Sikap keterbukaan ini harus dilanjutkan dengan meningkatkan kesadaran bersama untuk meninggalkan norma-norma yang akan mengingkari relasi persaudaraan, penyingkiran pengharapan bersama dan mengikis habis segala bentuk dorongan yang enggan untuk hidup bertetangga secara baik dengan siapapun dari latar belakang agama dan iman apa pun.
-  Dialog antar-umat beragama. Sikap keterbukaan yang telah dibangun diatas akan mendorong umat beragama untuk terlibat dalam satu dialog yang memungkinkan untuk melihat realitas konflik antar-umat beragama yang pernah dan sedang terjadi, dan merundingkan bersama relasi seperti apa yang ingin dibangun?
-  Pancasila sebagai agama sipil. Umat beragama di Indonesia harus menyadari keberadaannya dalam satu payung besar yaitu Pancasila, yang didalamnya terkandung nilai-nilai toleransi, solidaritas, kesederajatan yang memungkinkan umat beragama merasakan adanya semangat persatuan. Pancasila yang sama juga mampu diwujudnyatakan tidak saja dalam kehidupan beragama tapi juga bermasyarakat, tidak ada dominasi, tidak ada superioritas dan tidak ada yang tertindas. Keberadaan Pancasila sebagai agama sipil dimungkinkan karena 3 hal,[11] yaitu: pertama, kondisi pluralitas agama di Indonesia tidak memungkinkan adanya agama negara yang memungkinkan seluruh masyarakat menggunakannya sebagai sumber makna general. Tetapi, bagaimanapun juga kedua, masyarakat dihadapkan pada kebutuhan untuk melekatkan sebuah makna pada seluruh aktivitasnya, khususnya ketika aktivitas itu berkaitan dengan individu dari berbagai latar belakang agama. Oleh karena itu, ketiga, diperluka sebuah system makna pengganti, dan jika telah ditemukan (Pancasila) mereka yang aktivitasnya difasilitasi oleh system tersebut akan memujanya. Menurut penulis, Pancasila dan konteks Indonesia fit dengan ketiga syarat diatas, karena itu kehadiran Pancasila sebagai agama sipil (pengayom dan pelindung dengan nilai-nilai yang terkandung didalamnya) baik adanya.

Kesimpulan
Perjalanan panjang bangsa Indonesia di satu sisi menunjukkan adanya berbagai perkembangan dan kemajuan, tetapi dalam perjalanan yang sama juga diwarnai dengan berbagai kerusuhan dan konflik atas nama agama. Pluralitas agama di Indonesia yang seharusnya menjadi keuntungan malah menimbulkan kerugian yang besar. Tidak tersebutkan berbagai kasus pelanggaran kebebasan beragama dan kematian yang mengusung pembelaan terhadap agama tertentu. Jika kehidupan antar-umat beragama di Indonesia terus-menerus demikian, maka tepat jika kita bertanya: mau kemana agama-agama ini berjalan? Penulis menyimpulkannya sebagai jalan menuju kematian dan kehidupan. Agama akan mati jika terus-menerus menampilkan wajah yang memperbudak. Memperbudak orang dengan doktrin yang membuat adanya aliran garis keras dengan fanatisme dan eksklusivisme, menolak keberadaan “yang lain” ataukah agama dengan wajah membebaskan, yang merangkul keberadaan “yang lain” sebagai yang sama dengan dirinya, bersikap toleran dan menerima adanya dialog bahkan menempatkan Pancasila sebagai agama sipil, dasar bersama untuk saling berterima sebagai “sesama” dalam hidup di tanah Indonesia.



KEPUSTAKAAN
Buku
1980 Bellah, Robert N., & Philli E. Hammond, Varieties of Civil Religion, San Franscisco: Harper & Row Publisher.
2001 King, Richard., Agama, Orientalisme dan Poskolonialisme, Yogyakarta: Penerbit Qalam.
2002 Yewangoe, A.A., Iman, Agam dan Masyarakat, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
2006 Aritonang, Jan S., Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, Jakarta: BPK Gunung Mulia
2008 Woly, Nicolas, J., Perjumpaan di Serambi Iman, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
2009 Yewangoe, A.A., Tidak Ada Penumpang Gelap, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
 ---------------------., Tidak ada Negara Agama, Jakarta : BPK Gunung Mulia.
 --------------------., Tidak ada Ghetto, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
2010 Samosir, Leonardus., Agama dengan Dua Wajah, Jakarta: Penerbit Obor.

Internet
http://anbti.org/2010/03/eksistensi-%E2%80%9Cagama-asli-indonesia%E2%80%9D-dan-perkembangannya-dari-masa-ke-masa/, diunduh tanggal 12 Agustus 2010.

http://media.isnet.org/islam/Etc/Durkheim.html, diunduh tanggal 12 Agustus 2010.
http://anbti.org/?p=939, diunduh tanggal 13 Agustus 2010.


[1] Dikutip dari A.A. Yewangoe, Tidak Ada Penumpang Gelap, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009, hal. 228.


[2] Lihat Richard King, Agama, Orientalisme dan Poskolonialisme, Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2001, hal. 67-68. Band. http://anbti.org/2010/03/eksistensi-%E2%80%9Cagama-asli-indonesia%E2%80%9D-dan-perkembangannya-dari-masa-ke-masa/, diunduh tanggal 12 Agustus 2010.


[3] http://media.isnet.org/islam/Etc/Durkheim.html, diunduh tanggal 12 Agustus 2010.

[4] http://anbti.org/?p=939, diunduh tanggal 13 Agustus 2010.


[5] Yewangoe….., hal. 231.

[6] Leonardus Samosir, Agama dengan Dua Wajah, Jakarta: Penerbit Obor, 2010, hal. 87-93. Band. Yewangoe….., hal. 231.


[7] Ibid,.

[8] Ibid.

[9] Nicolas J. Woly, Perjumpaan di Serambi Iman, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008.


[10] Ibid., hal. 346-347.

[11] Philip E. Hammond, Bentuk-bentuk Elementer Agama Sipil, dalam Robert N. Bellah dan Phillip E. Hammond, Varieties of Civil Religion, San Franscisco: Harper & Row Publisher, 1980, hal. 185.




tulisan ini, di kutip dari Komunitas Aer Itam 25 Juni 2011

Belajar dari Jemaat Puritan Jerman

(Refleksi Terhadap The Protestan Ethic and The Spirit of Capitalism)

~~~~~~~
Oleh: Agust Maniyeni
~~~~~~~
Secara sepintas, topik ini tidak memiliki kaitan apa-apa dengan konteks kehidupan Jemaat di GMIT. Hal ini dapat dimengerti sebab, secara historis, ke-Kristenan GMIT bukan hasil PI dari lembaga-lembaga Zending Jerman. Meskipun demikian, bila dicermati, baik puritan Protestan Jerman dan Protestan GMIT sama berakar pada dokrtin Calvinisme. Dalam konteks seperti inilah, saya pikir topik ini menemukan relevansinya.
Apa yang saya maksudkan dengan Puritan Jerman adalah sekelompok minoritas Protestan di Jerman yang telah menyita perhatian sosiolog sekawakan Max Weber. Menyangkut kelompok Puritan ini, Weber menemukan sebuah fenomena menarik bahwa, meskipun mereka hanya kelompok minoritas, tapi secara statistik kaum puritan ini merupakan sebuah kelompok “mayoritas” dalam hal kepemilikan saham dalam sektor perbankan dan dunia usaha, di samping akses yang tinggi pada sektor pendidikan dan kesehatan.
Situasi problematik yang menjadi pijakan studi Weber menyangkut kelompok puritan ini yaitu, adakah pengaruh latar belakang doktrin keagamaan yang menginspirasi minoritas puritan ini sehingga mereka mampu tampil sebagai kelas menegah baru yang turut menentukan arah perubahan sosial masyakat Jerman? Untuk menjawab pertanyaan ini Weber mencoba meneliti ajaran Protestantisme Luther dan Calvin yang diduga menjadi latar kebangkitan puritan Jerman. Ketika mengeksplorasi ajaran Luther, Weber tidak menemukan kemungkinan doktrinal yang bisa dijadikan acuan oleh orang-orang puritan, disebabkan Luther dengan surat Indulgensianya secara implisit tidak meghendaki kepemiplikan saham.
Ketika meneliti doktrin Calvin, Weber menemukan konsep kunci dalam ajaran Calvinisme, yang menurutnya telah memberikan kontribusi signifikan bagi kebangkitan ekonomi masyarakat puritan. Bagi Weber, kata kunci kemajuan ekonomi masyarakat puritan terletak pada konsep SOLA GRATIA yang menjadi inti ajaran reformasi Calvin.
Ketika mengeleborasi konsep Sola Gratia, Weber menemukan bahwa, ciri-ciri orang yang diselamatkan HANYA oleh ANUGERA ALLAH adalah mereka yang memiliki etos kerja yang tinggi, kemauan belajar dan bekerja keras, hasrat menabung, memiliki motivasi berpretasi yang tinggi dan seterusnya. Singkatnya indikator-indikator Sola Gratia menjadi sangat terukur dalam kehidupan rill dan bukan sebuah konsep abstrak yang hanya ada dalam khotbah-khotbah. Dengan temuannya ini Weber berkesimpulan bahwa, modernisasi ekonomi dan pembangunan di Jerman sangat dipernaguhi oleh doktrin Calvin. Temuan
Weber ini di bukukan dalam “The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism” yang banyak dirujuk oleh para sosiolog, dan para perancang pembangunan.
Di Indonesia, aplikasi tesis Weber ini dapat dilihat dari munculnya Bank Muammalat yang kini menjadi salah satu bank Swasta Nasional yang paling sehat. Kemunculan Bank ini, sebetulnya merupakan hasil pikian cerdas Nur Cholish Majid yang mampu menemukan paralelisme doktrin Celvinisme dalam perspektif teologi Islam.
Seperti telah dikatakan sebelumnya, bahwa persamaan ke-Kristenan di GMIT dan Puritan Jeman adalah pada kesamaan dokrtinal yang berakar pada tradisi Calvinisme. Namun fakta menunjukkan bahwa kedua enititas masyarakat ini sangat kontras. Jemaat-jemat di GMIT masih berkubang dalam kemiskinan yang berkepanjangan, disamping akses ke sektor pendidikan dan kesehatan yang masih masih sangat rendah.

Pertanyaan kritis yang patut diajukan adalah, ada apa dengan doktrin Calvinisme di GMIT? Factor-faktor apa yang menyebabkan doktrin Calvinisme masih tidak memberikan dampak langsung bagi peningkatan kualitas hidup jemaat di GMIT? Mengapa jemat-jemaat di GMIT masih hidup dalam keterbelakangan, padahal seperti jemaat puritan, kita sama-sama merupkan “anak cucu” Calvin?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penting tersebut, maka saya mengajukan beberapa pemikiran hipotetis yang bagi saya perlu diuji secara empiris. Pertama, setting historis ke-Kristenan Jerman dan GMIT berbeda terutama dari misi PI yang dilakukan lembaga-lembaga zending.
Kedua, masyakat Jerman adalah masayarakat yang telah mencapai tahapan masyarakat fungsional, sehingga memungkinkan orang-orang dapat berpikir secara lebih rasional, sementara jemaat-jemaat GMIT masih berada dalam ketegangan antara kutub tradisional dan fungsional.
Ketiga, belum terjadi desakralisasi teologi di lingkungan GMIT menggunakan pendekatan-pendekatan yang lebih preskriptif. Kondisi ini menyebakan terjadinya kegamangan dalam berteologi sehingga teologi di GMIT seakan-akan terperangkap dalam dirinya sendiri.
Keempat, belum dilahirkannya sebuah “grand design” yang menjadi mindstrem teologi GMIT dalam menjawab masalah kemiskinan dan keterbelakangan jemaat secara realistis. Hal ini berkaitan dengan kecederungan berteologi yang hanya melahirkan deskripsi-deskripsi dan bukan preskripsi pemecahan masalah.
Kelima, masih menguatnya sindron institusi dengan segala atribut fisik dan simbol yang menyertainya, dengan perhatian yang berlebihan pada persoalan-persoalan kelembagaan dari pada pergumulan rill jemaat. Dengan mengajukan sejumlah hipotesis seperti yang saya  rumuskan di atas (dan para sahabat bisa menambakannya) saya sangat berkeinginan agar ada studi teologi yang lebih mendasar menyangkut isu teologi ini, dari pada kita berdebat tentang teologi minstream Eropa yang belum tentu relevan dengan kehidupan jemaat di GMIT. Semoga
refleksi singkat ini bermanfaat. SALAM…….

Senin, 06 Juni 2011

KONSEP dan DEFINISI

~~~~~~~
Oleh : Agus Maniyeni
~~~~~~~


ilustrasi : Theny
Para sahabat yang budiman, jika semalam saya posting tentang Rasionalitas kesesatan, sekarang ini saya posting tentang Konsep dan definisI, dua hal yang sangat mendasar dalam berlogika. Kedua istilah ini paling banyak kita temukan dalam komunikasi sehari-hari.  
Walaupun demikian dalam konteks ilmu pengetahuan khususnya Logika kedua hal ini memiliki makna yang agak spesifik. Pemahaman kita akan kedua unsur dasar ini sangat penting bagi kita untuk belajar mengembangkan kemampuan bernalar yang lebih sehat menggunakan kaidah-kaidah logika formal yang ada. Di samping itu, konsep dan definisi, menjadi unsur metodologis yang sangat penting jika kita melakukan aktifitas penelitian ilmiah.

Pengertian Konsep

Istilah konsep berasal dari bahasa latin dari kata “conceptus” yang berarti “tangkapan”. Tangkapan dalam konteks logika berkaitan dengan aktivitas intelektual untuk menangkap realitas. Aktivitas untuk menangkap realitas ini disebut aprehensi. Meskipun demikian sebuah aktivitas aprehensi tidak bersifat “an sich” tetapi “reflektif, kritis”. Dalam bahasa Inggris kata konsep berasal dari kata “concept” atau “construc” yang berarti simbol yang digunakan untuk memaknai sesuatu (Ihalaw, 2003 : 25). Dari berbagai pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan konsep adalah, aktivitas akal budi untuk memaknai realitas dengan menggunakan simbol tertentu.

Selain konsep, dikenal juga istilah term sebagai padanan dari konsep. Meskipun keduanya tidak dapat dipisahkan, melainkan dapat dibedakan. Jika konsep lebih menjurus kepada aktivitas akal budi, maka term lebih berorientasi kepada “hasil” kegiatan akal budi yang dinyatakan dalam satu atau lebih kata. Dengan demikian, term dapat didefinisikan sebagai kata atau rangkaian kata yang membuat konsep menjadi nyata dan mengandung pengertian tertentu.

Definisi ini menunjukkan bahwa term sebuah konsep berbeda dari kata, sebab sebuah term dapat lebih dari satu kata. Jika sebuah term hanya terdiri dari satu kata atau satu istilah, maka term tersebut dinamakan term sederhana (simple term). Misalnya: Manusia, Gajah,  
Cantik dan sejenisnya. Jika sebuah term terdiri dari beberapa kata, maka term tersebut dinamakan term kompleks (term komposit). Misalnya: Efek rumah kaca, Garuda Pacasila, Bapa segala orang percaya, generasi muda gereja, teologia trasformasi dan sejenisnya. Dari coNtoh-contoh ini, dapat dikatakan bahwa meskipun term komposit terdiri dari beberapa kata yang berdiri sendiri tetapi jika digabungkan hanya menunjukkan satu konsep atau satu pengertian. 

Kata atau istilah yang digunakan untuk mengungkapkan sebuah pengertian disebut juga sebagai simbol konsep. Dengan demikian, dapat dikatakan pula bahwa term adalah simbol atau kesatuan beberapa simbol digunakan untuk membentuk suatu konsep.

Konotasi dan Denotasi Term

Konotasi adalah, keseluruhan isi yang dimaksudkan atau yang dikandung oleh sebuah term atau konsep. Yang dimaksud dengan keseluruhan arti adalah, kesatuan unsur-unsur dasar (substansi) dengan sifat pembeda yang secara bersama-sama membentuk suatu pengertian.

Misalnya:konotasi term “manusia” adalah: makluk berakal budi. Jika diuraikan maka term ini meliputi substansi yang berbadan, (unsur dasar) dan berakal budi (sifat pembeda).konotasi term “hukum” adalah: peraturan sebagai substansi (unsur dasar) dan yang bersifat memaksa (sifat pembeda). Dari contoh tersebut dapat dikatakan bahwa, konotasi berkaitan dengan definisi atau pembatasan suatu konsep. Definisi yang berkaitan dengan konotasi sebuah term disebut sebagai definisi konotatif, atau definisi metafisik. (menyangkut hakikat definisi ini dibahas Pada bagian tersendiri).

Setiap term selain memiliki konotasi juga memiliki denotasi. Denotasi sebuah term adalah keseluruhan hal yang diliputi oleh sebuah term. Dengan kata lain denotasi sebuah term berhubungan dengan lingkungan (ekstensi) yang dapat ditunjukan sebuah term. Misalnya:Denotasi term “manusia” yang didefinisikan sebagai makluk berakal budi; dapat diterapkan pada bangsa, Indonesia, bangsa Cina, bangsa Yahudi dan sebagainya.Denotasi term “hukum” yang didefinisikan sebagai peraturan yang bersifat memaksa dapat diterapkan pada hukum pidana, hukum perdata, hukum laut internasional, hukum tata negara.

Jika dikaji secara mendalam maka antara konotasi dan denotasi sebuah konsep terdapat korelasi negatif, artinya jika yang satu bertambah, maka yang lainnya berkurang demikian pula sebaliknya. Dalam hal ini terdapat empat kemungkinan:
Makin bertambah konotasi, makin berkurang denotasi
Makin berkurang konotasi, makin bertambah denotasi
Makin bertambah denotasi, makin berkurang konotasi
Makin berkurang denotasi, makin bertambah konotasi

Misalnya:
term “manusia”. Dari term ini menunjukan bahwa denotasinya meliputi semua bangsa didunia. Tetapi jika term tersebut diubah menjadi “manusia Indonesia” maka denotasinya hanya meliputi masyarakat Indonesia.

Pembagian Konsep

Secara umum konsep dibagi ke dalam beberapa jenis yakni:  
(1) konsep menurut konotasi; (2) konsep menurut denotasi; (3) konsep menurut cara menerangkan sesuatu (predikabel)

Konsep menurut konotasi

Menurut konotasinya, konsep dapat dibedakan atas dua jenis yaitu: konsep konkrit dan konsep abstrak. Konsep konkrit adalah konsep yang konotasinya langsung mengacu pada realitas obyektif. Misalnya: Wanita cantik. Konsep yang terkandung dalam term wanita cantik adalah konkrit, karena langsung menunjuk pada realitas sebagai subyek yang mempunyai diri.

Konsep abstrak adalah konsep konotasinya hanya menunjukkan sifat tertentu, tanpa menunjuk pada realitas obyektif. Misalnya: kecantikan, kenegaraan, kemakmuran.

Konsep menurut Denotasi
Menurut denotasinya, konsep dapat dibedakan atas dua jenis yaitu: konsep umum dan konsep khusus. Konsep umum adalah konsep yang denotasinya mencakup keseluruhan hal yang diliputinya. Konsep ini dibedakan atas dua macam yakni:

Universal: konsep umum yang denotasinya tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Misalnya: Manusia, bangsa, Mahasiswa.

Kolektif: konsep umum yang denotasinya hanya berlaku bagi kelompok tertentu sebagai satu kesatuan. Misalnya: Rakyat Indonesia, Mahasiswa UKAW Kupang, jemaat Imanuel Mnela Lete.

Konsep khusus adalah, konsep yang hanya meliputi sebagian dari keseluruhan. Konsep ini dibedakan atas konsep partikular dan konsep singular.

Partikular: konsep khusus yang denotasinya hanya menunjuk pada sebagian tidak tertentu dari suatu keseluruhan. Misalnya: Sebagian manusia, sebagian Mahasiswa.

Singular: konsep khusus yang denotasinya menunjuk pada suatu hal atau suatu himpunan yang mempunyai hanya satu anggota. Misalnya: Presiden pertama RI, Dosen Hermeneutik Teologi UKAW.

Konsep menurut predikabel

Predikabel yang dimaksud adalah cara menerangkan sesuatu. Cara menerangkan ini berkaitan dengan pengungkapan relasi yang berbentuk predikat sebagai penjelasan dari suatu subyek dalam bentuk pernyataan.

Predikabel dari konsep terndiri dari lima jenis. Dua diantaranya menerangkan tentang hakikat jenis dan golongan sesuatu yakni: genus (jenis) dan spesies golongan); tiga diantaranya menerangkan tentang sifat yakni: diferensia (sifat pembeda), proprium (sifat khusus), dan aksidensia (sifat kebetulan).

(1). Genus adalah konsep membawahi spesies. Biasanya ekstensi genus meliputi semua jenis dan golongan konsep yang berada di bawahnya.

(2). Spesies adalah konsep yang lebih rendah dari genus. Bila ekstensi genus meliputi semua jenis dan golongan konsep yang berada di bawahnya, maka ekstensi spesies hanya mengacu pada hakikat “sesuatu ada” yang fana. Misalnya: manusia, hewan, tumbuhan.

(3). Diferensia adalah ciri pembeda sebuah konsep yang memebedakan satu spesies dengan spesies lainnya. Misalnya: Berakal adalah sifat pembeda manusia; panas sifat pembeda api; H20 sifat pembeda air. Dalam konteks logika, diferensia biasanya bertujuan untuk menuntaskan sebuah definisi yaitu menentukan tapal batas sebuah konsep. Bila ekstensi genus meliputi semua jenis dan golongan konsep yang berada di bawahnya, maka ekstensi spesies hanya mengacu pada hakikat “sesuatu ada” yang fana. Misalnya: manusia, hewan, tumbuhan.

Diferensia dapat dibedakan atas dua kategori yakni: diferensia generik dan diferensia spesifika. Diferensia generik adalah konsep yang menjadikan genus yang lebih tinggi menjadi lebih rendah. Misalnya: Organisma “berperasa”; Allah yang Imanuel.

Diferensia spesifika adalah konsep yang menjadikan genus terdekat menjadi spesies. Misalnya: hewan menyalak, hewan berkaki dua, hewan melata.

(4). Proprium sifat khusus yang merupakan lanjutan dari sifat pembeda sebuah konsep jika diabaikan dapat menimbulkan kerancuan. Misalnya: manusia sebagai makluk berakal budi, dapat belajar dapat berpolitik, bernyanyi.

Proprium dapat dibedakan atas dua kategori yaitu: proprium generik dan proprium spesifik. Proprium generik adalah sifat khusus sebuah konsep yang berakar dalam genus. Misalnya: sifat “dapat mati” yang dihubungkan dengan manusia. Sifat khusus ini langsung berhubungan dengan pengertian manusia sebagi makluk hidup. Dengan demikian, orang dapat mati bukan karena ia berakal budi, berindra melainkan karena ia “organisme yang hidup”
Proprium spesifik adalah sifat khusus sebuah konsep yang berakar dalam spesies. Misalnya: semua manusia dapat tertawa, dapat membuat keputusan, dapat belajar, dapat merubah lingkungan.

(5). Aksidens adalah sifat kebetulan sebagai predikat yang tidak berkaitan dengan hakikat sesuatu sehingga tidak dimiliki oleh seluruh golongan. Misalnya: “berambut ikal” dan “berkulit putih” untuk manusia, Cantik untuk seorang gadis, berwarna merah untuk sepeda motor dan sebangsanya.

Aksidens dapat dibedakan atas dua jenis yakni, aksidens predikamental dan akseidens predikabel. Akseidens predikamental adalah sifat kebetulan yang menyertai cara berada sesuatu dan melekat pada subyek. Misalnya: sifat terpelajar, pendidik, tinggi-besar untuk mansia. Panas, dingin untuk udara. Aksidens predikabel adalah sifat kebetulan yang menyertai cara menyatakan sesuatu namun tidak mutlak. Misalnya: berambut ikal untuk manusia, persegi untuk bangunan.

Definisi

Istilah definisi berasal dari bahasa Latin dari kata “definire” yang berarti menandai batas pada sesuatu, menentukan batas, atau batasan arti. Dalam konteks ini definisi dapat diartikan sebagai pernyataan yang berisi penjelasan tentang arti suatu konsep.

Tujuan definisi
Tujuan dibuatnya definisi terhadap suatu konsep dimaksudkan untuk: Memperkaya kosa kata. Definisi dibuat menambah wawasan berupa penguasaan kosa kata. Menghilangkan kerancuan. Kerencuan timbul karena sebuah konsep diberi makna lebih dari satu. Mengurangi kekaburan. Kekaburan suatu konsep terjadi apabila konsep tersebut tidak memiliki batasan yang jelas, sehingga dibutuhkan definisi untuk mengurangi kekaburan dimaksud.Menjelaskan secara teoritik. Tujuan lain dari definisi adalah merumuskan karakteristik sebuah konsep yang secara teoritik atau yang secara ilmiah dapat berguna untuk diterapkan pada suatu obyek tertentu. Mempengaruhi sikap. Definisi juga dapat dibuat dengan maksud mempengaruhi minat orang lain terhadap konsep yang didefinisikan.

Jenis-jenis definisi secara garis besar definisi dapat dibedakan atas tiga jenis yakni: (1) definisi nominalis. (2) definisi realis dan (3) definisi praktis.

1. Definisi nominalis
Definisi nominalis adalah definisi yang dibuat untuk menjelaskan sebuah konsep dengan kata lain yang lebih umum. Jadi definisi ini hanya dimaksudkan untuk menjelaskan kata sebagai tanda bukan hal yang ditandakan. Misalnya: Nirwana adalah Sorga.

Definisi nominalis biasanya digunakan dalam pada permulaan suatu pembicaraan atau diskusi. Definisi ini dapat dirinci menjadi lima jenis yakni: definisi sinonim, definisi simbolis, definisi etimologis, definisi stipulatif, definisi denotatif.

a. definisi sinonim
Definisi sinonim adalah penjelasan sebuah konsep berdasarkan persamaan kata. Definisi ini biasanya paling singkat dan yang digunakan dalam kamus-kamus. Misalnya: Dampak adalah pengaruh yang membawa akibat Arca adalah patung batu Kendala adalah halangan 

b. definisi simbolis atau semantik
Definisi simbolis adalah penjelasan sebuah konsep menggunakan tanda atau simbol tertentu. Definisi ini biasanya paling banyak digunakan dalam matematika. 

c. definisi etimologis
Definisi etimologis adalah penjelasan sebuah konsep berdasarkan asal-usul sebuah kata. Misalnya: Demokrasi berasal dari demos= rakyat dan Kratein = pemerintahan atau kekuasaan: Jadi demokrasi adalah sistem pemerintahan dimana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat.
Metode berasal dari metha = di atas dan hodos = Jalan.  
Jadi metode adalah jalan yang harus dilewati

d. definisi stipulatif
Definisi stipulatif adalah penjelasan sebuah konsep dengan cara memberikan nama terhadap sesuatu atas dasar kesepakatan bersama. Definisi ini benyak digunakan dalam ilmu pengetahuan terutama berhubungan dengan penemuan baru.

Misalnya:Planet tertentu diberi nama “mars”

e. definisi denotatif
Definisi denotatif adalah penjelasan sebuah konsep dengan cara menunjukkan atau memberikan contoh suatu benda atau hal yang termasuk dalam cakupan konsep. Definisi ini dibedakan atas dua jenis yakni: definisi Ostentif dan definisi enumeratif. Definisi ostentif adalah: penjelasan sebuah konsep dengan cara menunjuk langsung kepada simbol yang dikandung oleh konsep dimaksud.
Misalnya: Mendefinisikan apakah batu itu dengan menunjuk langsung pada obyek batu.

Definisi enumeratif adalah: penjelasan sebuah konsep dengan cara memerinci satu demi satu secara lengkap semua hal yang terkandung dalam sebuah konsep. Misalnya: Propinsi di Indonesia meliputi, Jawa tengah, Jawa Barat, Jawa Timur dan seterusnya sampai propinsi yang terakhir.

Dalam membuat definisi nominalis perlu diperhatikan tiga sayarat sebagai berikut:
a.Tetap menjaga konsistensi apabila kata tertentu hanya mempunyai arti tertentu.
b. Menghidari penggunaan kata yang tidak diketahui artinya pada saat membuat definisi.
c. Definisi yang dibuat harus rasional sehingga dapat diterima oleh pihak lain.

2. Definisi realis
Definisi realis adalah, Penjelasan tentang isi yang dikandung oleh sebuah kosep. Definisi ini banyak digunakan dalam ilmu pengetahuan. Definisi ini dibedakan atas dua jenis yakni: definisi esensial dan definisi deskriptif.

a. Definisi esensial adalah: penjelasan sebuah konsep dengan cara menguraikan bagian-bagian yang membangun sebuah konsep. Definisi ini dapat dirinci menjadi dua jenis yakni: definisi analitis dan definisi konotatif.

Definisi analitis adalah penjelasan sebuah konsep dengan cara menunujukkan bagian-bagian yang mewujudkan esensinya. Misalnya: Manusia dapat didefinisikan sebagai substansi yang terdiri dari badan dan jiwa. Air adalah H20

Definisi konotatif adalah: penjelasan sebuah konsep dengan cara menunjukkan isi yang meliputi genus dan diferensia dari konsep dimaksud. Definisi ini disebut juga definis metafisik sebab memberikan jawaban yang mendasar dengan menunjukkan predikabel substansi sebuah konsep. Misalnya: Hukum adalah peraturan yang bersifat memaksa.

Definisi esensial ini dapat dibuat dengan memperhatikan tiga hal: membandingkan hal yang hendak didefinisikan dengan hal lainnya. Menunjukkan jenis atau golongan yang memuat hal tersebut. Menunjukkan ciri-ciri yang membedakan hal tersebut dengan hal lainnya.

b. Definisi deskriptif
Definisi deskriptif adalah penejelasan sebuah konsep dengan cara menunjukkan sifat-sifat yang melekat pada konsep yang didefinisikan. Definisi ini dibedakan atas dua jenis yakni definisi aksidental dan definisi kausal.

Definisi aksidental adalah, penjelasan sebuah konsep dengan cara menunjukkan jenis dan sifat khusus yang terdapat dalam konsep yang didefinisikan. Atau dengan kata lain penjelasan konsep dengan mengacu pada genus dan propriumnya. Misalnya: manusia adalah makluk berpolitik, manusia adalah makluk sosial.

Definisi kausal disebut juga definisi genetik yaitu, penjelasan sebuah konsep dengan cara menyatakan bagaimana konsep tersebut terbentuk. Misalnya: awan adalah uap air yang terkumpul di udara dan terbentuk karena penyinaran laut oleh matahari; Mutad adalah orang yang berpindah dari satu agama ke agama lain.

3. Definisi praktis
Definisi praktis merupakan gabungan dari definisi nominalis dan definisi realis. Definisi praktis adalah  penjelasan suatu konsep ditinjau dari segi penggunaan dan tujuannya secara praktis. Definisi ini dibedakan atas tiga jenis yakni: definsi operasional, definisi persuasif dan definisi fungsional.

a. Definisi operasional adalah, penjelasan suatu konsep dengan cara menegaskan langkah-langkah khusus, prosedur pengukuran, serta menunjukkan bagaimana hasil yang dapat diamati. Definisi operasional dapat dikategorikan atas dua jenis yakni: Definisi kualitatif dan definsi kuantitatif. Definisi kualitatif adalah penjelasan suatu konsep berdasarkan isi yang dikandung dalam suatu konsep. Misalnya: Magnit adalah logam yang dapat menarik gugusan besi. Definisi kuantitatif adalah penjelasan konsep yang dibuat berdasarkan jumlah yang dikandung dalam suatu konsep. Misalnya: Prestasi belajar adalah 
skor yang diperoleh siswa melalui tes hasil belajar.

b. Definisi persuasif adalah, penjelasan tentang suatu konsep dengan cara merumuskan pernyataan tertentu untuk mempengaruhi orang lain. Misalnya: Lux adalah sabun para bintang film; tepat waktu adalah, ciri perilaku orang modern. Definisi persuasif banyak digunakan dalam dunia pariwara dan dunia politik, dengan maksud mempengaruhi konsumen maupun konstituen tertentu agar memilih produk atau partai politik tertentu.

c. Definisi fungsional adalah, penjelasan tentang suatu konsep berdasarkan kegunaan atau tujuannya. Misalnya: Bahasa adalah alat komunikasi manusia. 

Syarat-syarat definisi
Ada lima syarat umum yang perlu diperhatikan dalam merumuskan sebuah definisi yakni:

(1). Sebuah definsi harus menyatakan ciri-ciri hakiki dari apa yang didefinisikan, yakni menunjukkan pengertian umum (genus) yang meliputinya berserta ciri pembedanya (diferensia) yang penting. Syarat ini penting dalam kegiatan ilmiah seperti mendefinisikan hewan, tumbuh-tumbuhan. Misalnya: kuda adalah equus cabalus. Equus adalah genus (himpunan umum) dan cabalus adalah ciri yang membedakan kuda dari keledai, zebra dan lainnya dari genus yang sama.

(2). Sebuah definsi harus menggambarkan kesetaraan arti dengan hal yang didefinisikan. Artinya sebuah definisi tidak boleh terlalu luas atau terlalu sempit. Misalnya: (definisi yang terlalu luas) Meja adalah perabot rumah tangga. (Definisi yg terlalu terlalu sempit). Atau Kursi adalah tempat yang sedang diduduki.

(3). Sebuah definsi harus menghindarkan pernyataan yang memuat term yang sedang didefinisikan. Misalnya: keracunan adalah hasil akibat minum racun; pengetahuan adalah hal-hal yang diketahui dalam ingatan; hukum waris adalah hukum yang mengatur harta warisan.

(4). Sebuah definsi sedapat mungkin dinyatakan dalam rumusan yang positif.

(5). Sebuah definsi harus dinyatakan secara singkat dan jelas guna menghindari tejadinya kekaburan dan  
kedwiartian. Misalnya: Aluminium adalah, suatu jenis logam tertentu yang bercahaya. Contoh ini tidak telalu luas namun dengan mengatakan suatu jenis tertentu menunjukanm bahwa definsi tersebut belum menjelaskan apa-apa (masih kabur).

Catatan Penutup
Sebagai catatan penutup, saya ingin menegaskan bahwa materi ini, seperti juga topik sebelumnya tidak di maksudkan untuk dijadikan bahwa untuk menjustifikasi kadar berlogika seseorang. Yang hendak di wakili oleh posting ini adalah informasi edukatif yang kiranya dapat berguna bagi para sahabat. Hal ini perlu saya tegaskan karena saya tidak terlalu berminat pada opini-opini prejudice, saya lebih tertarik pada persoalan-persoalan yang lebih bersifat akademis.

Semoga bermanfaat
Salam

Jumat, 03 Juni 2011

Belajar dari burung Angsa

~~~~~~~
oleh : Agust Maniyeni
~~~~~~~
lihat formasi itu.... (sumber gambar : duelpast.blogspot.com)

Kompetisi sudah menjadi semacam "dogma modernisme" yang  diadopsi oleh hampir semua organisasi modern (kampus, sekolah, negara, bahkan mungkin gereja). Para Ahlipun  tidak ketinggalan mengindoktrinasi konsep ini dalam berbagai dimensi, namun apakah benar kompetisi dapat dijadikan sebagai saham bagi kemajuan bersama?

Sejatinya kompetisi memiliki dua kutub yang sangat ekstrim. Ketika terjadi kompetis, pasti ada yang menang dan ada yang kalah. Jika terjadi kompetisi, maka akan selalau terbuka peluang bagi penggunaan segala cara untuk mencapai tujuan kompetisi....

Mungkin sudah saatnya kita mencermati kembali asumsi-asumsi yang kita gunakan berkaitan dengan konsep ini. Secara substantif, sudah saatnya kita menggunakan pendekatan yang lain untuk mencapai tujuan kemanusiaan kita dengan mengedepankan semangat berkolaborasi dan bukan berkompetisi....

Dalam manajemen, kolaborasi menjadi jauh lebih penting dari kompetisi. Kolaborasi memungkinkan kita untuk saling menolong guna mencapai tujuan secara bersama-sama. Ini yang terlihat dalam perilaku manajemen burung angsa. Dalam manajemen burung angsa, tidak ada satu pun anggota kelompok yang dibiarkan tertinggal di belakang (kalah) ketika mereka berjuang menghadapi badai.

Kita memang kita sangat paham akan konsep kolaborasi, tapi secara praktis burung angsalah yang melakukannya secara sempurna.....Kita sangat paham konsep persektuan, tetapi burung angsalah yang paling bersektu dibandingkan dengan kita.....

Karena itu, mungkin ada baiknya kita belajar dari angsa, makluk yang tidak termasuk dalam kategori berakal budi, namun dapat menjadi inspirasi bagi kita untuk belajar bersektu....


Selamat Hari Minggu Sobat.

Note ini diambil dari Group FB, Komunitas Aer Itam. (Minggu, 29 Mei 2011)

Rasionalitas Kesesatan

~~~~~~~
Oleh : Agus Maniyeni
~~~~~~~

Para sahabat yang budiman, konsep kesesatan merupakan sebuah konsep yang sangat populer, dan sering dihubungkan dengan kehidupan keberagamaan. Tapi tahukah sahabat, bahwa bukan hanya bidang keagamaan yang mengenal konsep ini? Dalam ilmu berpikir dan atau ilmu penalaran dan atau logika, kesesatan sebagai sebuah konsep mendapat tempat yang sangat strategis.

Kali ini saya ingin berbagai dengan para sahabat megenai konsep kesesatan ini, sehingga membantu kita untuk memahami bagaimana seharusnya kita bernalar sehingga gagasan yang kita komunikasikan, benar-benar mengikuti hukum penalaran yang benar.

A. Pengertian Kesesatan


Kesesatan merupakan bidang kajian logika yang menaruh perhatian pada penalaran yang tidak tepat atau penalaran yang keliru. Kesesatan juga disebut “fallacia atau fallacy” yaitu kekeliruan penalaran yang terjadi pelanggaran terhadap kaidah-kaidah logika. Kesesatan dapat terjadi karena ketidaksadaran orang yang bernalar atau sebaliknya dilakukan secara sengaja untuk menyesatkan orang lain. Kesesatan yang terjadi karena ketidak sengajaan disebut paralogis, sedangkan kesesatan penalaran yang dilakukan secara sengaja disebut sofisme.

Kesesatan dapat terjadi karena dua faktor yaitu kerana bentuk penalarannya yang tidak sahih dan karena tidak ada hubungan logis antara premis dengan konklusi. Kesesatan yang terjadi akibat bentuk penalaran yang tidak sahih disebut kesesatan formal. Sedangkan kesesatan yang terjadi karena inkonsistensi antara premis dengan konklusi disebut kesesatan relevansi.

B. Jenis-jenis Kesesatan

Secara umum ada dua jenis kesesatan yakni kesesatan karena bahasa dan kesesatan relevansi.
1. Kesesatan Bahasa

Kesesatan bahasa terjadi karena penggunaan kata atau istilah tertentu dalam kalimat (bahasa) yang memiliki arti yang berbeda-beda. Ada beberapa jenis kesesesatan yang temasuk dalam kesesatan bahasa yakni, kesesatan karena aksen atau intonasi; kesesatan term ekuivokal; kesesatan metafora, dan kesesatan amfibolia (amphibolia). Keempat jenis kesesatan ini disebut quaterna terminorum.

1.1. Kesesatan intonasi
Kesesatan intonasi adalah jenis kesesatan yang terjadi akibat perubahan tekanan pada satu kata tertentu yang mengakibatkan terjadi perubahan arti.

1.2. Kesesatan term ekuivokal
Term ekuivokal adalah term yang mempunyai lebih dari satu arti. Jadi kesesatan term ekuivokal adalah jenis kesesatan yang terjadi akibat pergantian arti dari sebuah term yang sama.

1.3. Kesesatan karena metafora
Kesesatan karena metafora adalah jenis kesesatan yang terjadi jika pelaran dalam arti kiasan, disamakan dengan arti yang sebenarnya.

1.4. Kesesatan amfiboli
Kesesatan karena metafora adalah jenis kesesatan yang terjadi jika konstruksi kalimat yang dibangun menyebabkan arti yang bercabang.

2. Kesesatan Relevansi

Kesesatan relevansi adalah jenis kesesatan yang terjadi karena konklusi yang dibangun tidak relevan dengan premisnya. Atau dengan kata lain konklusi yang dibuat bukan merupakan implikasi dari premisnya. Kesesatan ini dapat dikategorikan atas (1) argumentum ad hominem; (2) argumentum auctoritatis; (3) argumentum ad baculum; (4) argumentum ad misericordiam; (5) argumentum ad populum; (6) non causa pro causa; (7) kesesatan aksidensi; (8) kesesatan komposisi dan divisi; (9) kesesatan karena pertanyan yang kompleks;

2.1. Argumentum Ad Hominem
Argumentum ad hominem adalah, kesesatan yang terjadi karena pemaksaan kehendak agar orang lain menerima keputusan yang didasarkan pada kepentingan tertentu. Misalnya: seorang terdakwa yang berusaha mendapat hukuman seringan mungkin dengan mengatakan bahwa penderitaan yang ditimpakan hakim kepadanya dapat juga terjadi pada keluarga sang hakim.

2.2. Argumentum Auctoritatis
Argumentum autoritatis adalah, kesesatan yang terjadi karena orang menerima atau meolak suatu kebenaran bukan berdasarkan penalaran tetepi berdasarkan otoritas orang yang mengatakannya. Misalnya: kebenaran yang diterima hanya berdasarkan pada siapa yang mengatakan kebenaran itu.

2.3. Argumentum Ad Baculum
Argumentum ad baculum adalah, kesesatan yang terjadi karena penerimaan atas kebenaran bukan ditentukan oleh penalaran melainkan karena tekanan atau intimidasi. Misalnya: penyangkalan petrus kepada Yesus karena takut terhadap tekanan serdadu romawi.

2.4. Argumentum Ad Misericordiam
Argumentum ad misericordiam adalah, kesesatan yang terjadi karena argmen yang dibuat dimaksudkan untuk menimbulkan belas kasihan pihak lain. Argumen ini biasanya dilaukukan agar suatu perbuatan dimaafkan.

2.5. Argumentum Ad Populum
Argumentum ad populum adalah, kesesatan yang terjadi karena argumentasi yang dibuat tidak didasarkan pada bukti melainkan didasarkan pada keykinan banyak orang. Pembuktian suatu argumentasi menjadi tidak penting melainkan, yang diutamakan adalah menggugah perasaan massa pendengar, membangkitkan emosi agar menerima simpulan tertentu. Argumentum ad populum banyak terjadi dalam kampanye politik, pidato-pidato atau dalam demostrasi yang melibatkan banyak orang.

2.6. Non Causa Pro Causa
Non causa pro causa adalah, kesesatan yang terjadi karena konklusi yang dibuat tidak berdasarkan penyebab yang semestinya, melainkan oleh sebab yang lain.

2.7. Kesesatan Aksidensi
Kesesatan aksidensi adalah, kesesatan yang terjadi karena penerapan prinsip atau pernyataan umum pada suatu peristiwa tertentu yang karena sifatnya yang kebetulan (aksidental) menyebabkan penerapan itu tidak cocok. Sifat aksidental adalah sifat yang tidak mutlak, yang tidak harus ada.

2.8. Kesesatan Komposis dan Divisi
Kesesatan komposisi adalah keseatan yang terjadi karena penggunaan gaya bahasa totem pro parte1) yang tidak tepat. Sedangkan kesesatan devisi adalah kesesatan yang terjadi karena penggunaan gaya bahasa pars pro toto yang keliru.

2.9. Kesesatan karena pertanyan yang kompleks
Kesesatan ini terjadi karena, pertanyaan yang dibuat tidak spesifik sehingga dapat menimbulkan penafsifaran dan jawaban yang lebih dari satu.

Semoga catatan singkat ini bermanfaat.......Salam

Malang, 26 Mei 2001


Catatan ini diambil dari Group FB, Komunitas Air Itam (26 Mei 2001)