Selasa, 05 Juli 2011

Belajar dari Jemaat Puritan Jerman

(Refleksi Terhadap The Protestan Ethic and The Spirit of Capitalism)

~~~~~~~
Oleh: Agust Maniyeni
~~~~~~~
Secara sepintas, topik ini tidak memiliki kaitan apa-apa dengan konteks kehidupan Jemaat di GMIT. Hal ini dapat dimengerti sebab, secara historis, ke-Kristenan GMIT bukan hasil PI dari lembaga-lembaga Zending Jerman. Meskipun demikian, bila dicermati, baik puritan Protestan Jerman dan Protestan GMIT sama berakar pada dokrtin Calvinisme. Dalam konteks seperti inilah, saya pikir topik ini menemukan relevansinya.
Apa yang saya maksudkan dengan Puritan Jerman adalah sekelompok minoritas Protestan di Jerman yang telah menyita perhatian sosiolog sekawakan Max Weber. Menyangkut kelompok Puritan ini, Weber menemukan sebuah fenomena menarik bahwa, meskipun mereka hanya kelompok minoritas, tapi secara statistik kaum puritan ini merupakan sebuah kelompok “mayoritas” dalam hal kepemilikan saham dalam sektor perbankan dan dunia usaha, di samping akses yang tinggi pada sektor pendidikan dan kesehatan.
Situasi problematik yang menjadi pijakan studi Weber menyangkut kelompok puritan ini yaitu, adakah pengaruh latar belakang doktrin keagamaan yang menginspirasi minoritas puritan ini sehingga mereka mampu tampil sebagai kelas menegah baru yang turut menentukan arah perubahan sosial masyakat Jerman? Untuk menjawab pertanyaan ini Weber mencoba meneliti ajaran Protestantisme Luther dan Calvin yang diduga menjadi latar kebangkitan puritan Jerman. Ketika mengeksplorasi ajaran Luther, Weber tidak menemukan kemungkinan doktrinal yang bisa dijadikan acuan oleh orang-orang puritan, disebabkan Luther dengan surat Indulgensianya secara implisit tidak meghendaki kepemiplikan saham.
Ketika meneliti doktrin Calvin, Weber menemukan konsep kunci dalam ajaran Calvinisme, yang menurutnya telah memberikan kontribusi signifikan bagi kebangkitan ekonomi masyarakat puritan. Bagi Weber, kata kunci kemajuan ekonomi masyarakat puritan terletak pada konsep SOLA GRATIA yang menjadi inti ajaran reformasi Calvin.
Ketika mengeleborasi konsep Sola Gratia, Weber menemukan bahwa, ciri-ciri orang yang diselamatkan HANYA oleh ANUGERA ALLAH adalah mereka yang memiliki etos kerja yang tinggi, kemauan belajar dan bekerja keras, hasrat menabung, memiliki motivasi berpretasi yang tinggi dan seterusnya. Singkatnya indikator-indikator Sola Gratia menjadi sangat terukur dalam kehidupan rill dan bukan sebuah konsep abstrak yang hanya ada dalam khotbah-khotbah. Dengan temuannya ini Weber berkesimpulan bahwa, modernisasi ekonomi dan pembangunan di Jerman sangat dipernaguhi oleh doktrin Calvin. Temuan
Weber ini di bukukan dalam “The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism” yang banyak dirujuk oleh para sosiolog, dan para perancang pembangunan.
Di Indonesia, aplikasi tesis Weber ini dapat dilihat dari munculnya Bank Muammalat yang kini menjadi salah satu bank Swasta Nasional yang paling sehat. Kemunculan Bank ini, sebetulnya merupakan hasil pikian cerdas Nur Cholish Majid yang mampu menemukan paralelisme doktrin Celvinisme dalam perspektif teologi Islam.
Seperti telah dikatakan sebelumnya, bahwa persamaan ke-Kristenan di GMIT dan Puritan Jeman adalah pada kesamaan dokrtinal yang berakar pada tradisi Calvinisme. Namun fakta menunjukkan bahwa kedua enititas masyarakat ini sangat kontras. Jemaat-jemat di GMIT masih berkubang dalam kemiskinan yang berkepanjangan, disamping akses ke sektor pendidikan dan kesehatan yang masih masih sangat rendah.

Pertanyaan kritis yang patut diajukan adalah, ada apa dengan doktrin Calvinisme di GMIT? Factor-faktor apa yang menyebabkan doktrin Calvinisme masih tidak memberikan dampak langsung bagi peningkatan kualitas hidup jemaat di GMIT? Mengapa jemat-jemaat di GMIT masih hidup dalam keterbelakangan, padahal seperti jemaat puritan, kita sama-sama merupkan “anak cucu” Calvin?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penting tersebut, maka saya mengajukan beberapa pemikiran hipotetis yang bagi saya perlu diuji secara empiris. Pertama, setting historis ke-Kristenan Jerman dan GMIT berbeda terutama dari misi PI yang dilakukan lembaga-lembaga zending.
Kedua, masyakat Jerman adalah masayarakat yang telah mencapai tahapan masyarakat fungsional, sehingga memungkinkan orang-orang dapat berpikir secara lebih rasional, sementara jemaat-jemaat GMIT masih berada dalam ketegangan antara kutub tradisional dan fungsional.
Ketiga, belum terjadi desakralisasi teologi di lingkungan GMIT menggunakan pendekatan-pendekatan yang lebih preskriptif. Kondisi ini menyebakan terjadinya kegamangan dalam berteologi sehingga teologi di GMIT seakan-akan terperangkap dalam dirinya sendiri.
Keempat, belum dilahirkannya sebuah “grand design” yang menjadi mindstrem teologi GMIT dalam menjawab masalah kemiskinan dan keterbelakangan jemaat secara realistis. Hal ini berkaitan dengan kecederungan berteologi yang hanya melahirkan deskripsi-deskripsi dan bukan preskripsi pemecahan masalah.
Kelima, masih menguatnya sindron institusi dengan segala atribut fisik dan simbol yang menyertainya, dengan perhatian yang berlebihan pada persoalan-persoalan kelembagaan dari pada pergumulan rill jemaat. Dengan mengajukan sejumlah hipotesis seperti yang saya  rumuskan di atas (dan para sahabat bisa menambakannya) saya sangat berkeinginan agar ada studi teologi yang lebih mendasar menyangkut isu teologi ini, dari pada kita berdebat tentang teologi minstream Eropa yang belum tentu relevan dengan kehidupan jemaat di GMIT. Semoga
refleksi singkat ini bermanfaat. SALAM…….

1 komentar:

  1. edc titanium: the best of the world - iTaniumArt
    edc titanium is the best of the world. This nano titanium page titanium rings is updated for trekz titanium headphones the best in titanium build our Сustomers. Enjoy our dental implants Сustomers.

    BalasHapus