Selasa, 05 Juli 2011

Quo Vadis Agama

(Suatu Refleksi Analitis Terhadap Eksistensi dan Masa Depan Agama-Agama di Indonesia)
~~~~~~~~
Oleh : Arly de Haan

~~~~~~~


Pendahuluan
Agama merupakan sebuah wadah dimana semua nilai-nilai kebaikan dan keluhuran ditulis, diajarkan dan diamalkan oleh para pengikutnya. Diharapkan dengan mengamalkan semua nilai-nilai yang baik, maka baik umat dalam satu agama, maupun yang berbeda agama, bahkan yang tidak beragama dapat duduk bersama dalam kedamaian, penuh toleransi.
Tetapi, harapan-harapan itu diatas, dalam perjalanannya menunjukkan bahwa kehadiran agama dapat bermakna dan berdampak negatif. Sejarah dunia selama berabad-abad menunjukkan bagaimana satu agama berinteraksi dengan agama lain, agama dan ilmu pengetahuan, dan relasi lainnya. Dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan, agama khususnya agama Kristen dengan teologinya pernah berada di puncak dunia sebagai Queen of Sciences, yang menjadi barometer apakah ilmu itu sesuai dengan ajaran Kristen ataukah tidak. Pada masa ini terjadi banyak perdebatan dan pemblokiran yang akhirnya agama dan ilmu pengetahuan berada di jalur yang berbeda.
Tidak jauh berbeda dengan yang diatas, relasi antara agama-agama di dunia, secara khusus di Indonesia memperlihatkan toleransi berada jauh di bawah kesadaran umat beragama. Fakta memperlihatkan bagi kita bahwa terdapat banyak kerusuhan, penghancuran rumah ibadah, larangan membangun rumah ibadah dan klaim ajaran sesat telah membuat antara satu agama dan agama lain terjadi permusuhan dan peperangan dengan membela agamanya masing-masing. Dengan demikian maka apa yang dikatakan oleh Leo D. Lefebure[1] bahwa kekerasan adalah watak dan ciri-ciri agama adalah tepat untuk dialamatkan bagi agama-agama di Indonesia. Jika terus-menerus begini, pertanyaannya quo vadis agama? Mau kemana agama-agama ini berjalan? Bagaimana keberadaan dan masa depannnya? Semoga tulisan ini mampu menolong kita untuk menjawabnya!

Isi
 A. Apa Itu Agama?[2]
Sebelum kita berbicara mengenai masa depan agama di Indonesia, ada baiknya kita memahami secara lebih jelas apa itu agama melalui definisi-definisi yang telah ada. Istilah agama berasal dari bahasa Latin religio. Pada masa pra-Kristen, Cicero menjelaskan bahwa kata religio berkaitan dengan kata relegere yang berarti “membaca kembali” atau “membaca ulang.” Kata ini kemudian diartikan sebagai way of life dengan seperangkat aturan tentang kebaktian dan kewajiban yang harus dijalankan oleh pengikutnya. Aturan-aturan ini dimaksudkan untuk mengikat seseorang atau sekelompok orang dalam relasinya dengan Tuhan, sesama manusia dan alam semesta.
Kata “agama” juga diserap dari bahasa Sanskerta: a berarti “tidak” dan gama “bergerak”, artinya sesuatu yang dianut dan dianggap pasti dan mengikat bagi yang mempercayainya. Dalam makna seperti ini, dalam bahasa Jawa kuna “agama” berarti “aturan-aturan hukum” yang salah satu aspeknya “kepastian”. Karena itu, kitab undang-undang Majapahit yang berlaku pada zaman Prabu Hayamwuruk (1350-1389 M) disebut Sang Hyang Agama (nama lain dari Kutaramanawa), dan kitab undang-undang yang berlaku pada zaman Prabu Wikramawardhana (1389-1427 M) disebut Sang Hyang Adi Ä€gama.
Sedangkan pengertian yang lain kita peroleh dari Emile Durkheim[3] yang mengatakan bahwa agama adalah sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudus, kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal. Durkheim menekankan pentingnya sifat kudus dan ritual dalam sebuah agama. Dengan demikian, di dalam agama ada sifat kudus dan ritual yang meminta ketaatan, kepatuhan dan keterikatan dari para pengikutnya.

B. Keprihatinan Terhadap Relasi Antar-Umat Beragama di Indonesia
Keterikatan para pengikut suatu agama terhadap agamanya membuat agama menjadi hal yang tak terpisahkan dari diri seorang individu. Oleh karena agama telah menjadi bagian dari diri seseorang, dia terlibat didalamnya maka sulit bagi seseorang untuk bertindak secara obyektif. Hal ini dapat kita lihat dalam kehidupan keberagamaan di Indonesia.
Negara telah menjamin dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat 1 dan 2 bahwa setiap warga negara berhak untuk memeluk agama/kepercayaan dan beribadah sesuai dengan agama/kepercayaannya itu. Dengan konstitusi ini seharusnya setiap orang, siapa pun dia, dari latar belakang apapun berhak untuk memilih dan menganut suatu agama dan berhak mendapat kebebasan dan privasi didalam menjalankan ibadahnya. Tetapi dapat kita temukan di Indonesia kita ini, ada ambiguitas didalam menjalankan konstitusi ini. Negaralah yang mengatur agama yang diakui dan tidak diakui dalam negara ini. Ketika masalah Ahmadiyah merebak, negara turut campur tangan didalamnya, menudingnya sebagai “ajaran sesat” dan melarang umat Ahmadiyah untuk beribadah menurut apa yang diyakininya. Dengan demikian terlihat bahwa negara sendiri melanggar konstitusi yang sudah ada, untuk memberi kebebasan seluas-luasnya bagi warga negara ini untuk menentukkan sendiri kepercayaan/agama yang ingin mereka anut.
Keterikatan yang dituntut oleh agama, telah diterjemahkan secara “aneh” oleh sebagian pengikutnya. Ada yang mengartikan keterikatan dan ketaatan yang dituntut sebagai sebuah klaim absolute, agamanyalah satu-satunya yang paling benar. Hal ini menimbulkan eksklusivisme dan memandang agama lain sebagai yang sesat bahkan “kafir.” Klaim absolute inilah yang kemudian menjadi faktor utama pemicu pertikaian antar-agama. Penganut agama Islam aliran keras berjuang agar Indonesia dapat menjadi negara Islam, terjadi banyak penutupan rumah ibadah dan larangan untuk beribadah. Salah satu fakta terhangat saat ini adalah larangan bagi umat Kristen Protestan (HKBP Pondok Timur Bekasi) dan umat Katolik di Parung-Bekasi untuk beribadah yang mengakibatkan adanya protes besar-besaran.[4] Hal ini menunjukkan adanya dikotomi mayoritas dan minoritas yang kemudian mendorong adanya usaha penaklukkan dari yang mayoritas terhadap yang minoritas.
Berbagai kerusuhan dan pertikaian berbasis agama juga terjadi karena agama dipakai sebagai alat kekuasaan. Hal ini terlihat dari banyaknya pembentukan partai politik yang berlandaskan agama seperti Partai Kedaulatan Rakyat (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Damai Sejahtera (PDS). Partai-partai ini telah menempatkan Indonesia dalam ghetto bahkan apartheid berlandaskan agama.[5]
Ketika kampanye PEMILU berlangsung, banyak diantara partai-partai agama menggunakan ayat-ayat Kitab Suci untuk mensahkan program-program dan tindakan yang mereka lakukan. Hal ini dimaksudkan untuk menarik simpati masyarakat, terutama yang memiliki agama yang sama dengan landasan partai tertentu. Tetapi apa yang dilakukan oleh para pengagas dan pemimpin partai telah menimbulkan perang ayat suci dan juga pertikaian antar-agama.
Fakta-fakta diatas telah menunjukkan bagaimana agama-agama di Indonesia (khususnya Islam dan Kristen) yang seharusnya menjadi pemersatu dan pembawa damai, telah melupakan tugasnya dan menempatkan dirinya sebagai factor utama pemicu kerusuhan dan pertikaian. Jika demikian, maka tepatlah pertanyaan ini diajukan: quo vadis agama?

C. Pertanyaan Kritis : Quo Vadis Agama-agama di Indonesia?
Perjalanan panjang telah dilalui oleh agama-agama di Indonesia, sejak masuknya (karena banyak agama yang diakui di Indonesia adalah hasil misi dan zending dari negara-negara lain) sampai saat ini, agama-agama di Indonesia senantiasa berada dalam proses. Proses ini menggambarkan kepada kita bagaimana perjuangan agama-agama untuk menjadi kuat dan exist di Indonesia, dan proses yang sama pula memberi gambaran agama dalam sebuah ambiguitas, agama dalam dua wajah[6]. Wajah yang satu menggambarkan agama sebagai yang memperbudak. Disini agama muncul dalam sifat-sifatnya yang dogmatis, legalistis, institusionalistis, simbolistis dan ritualistis. Para penganutnya cenderung bersikap fanatik dan tertutup, menempatkan diri dalam sekat, menstereotipkam pihak lain sebagai yang tidak kudus, sehingga mereka harus memelihara kekudusannya sendiri. Hal ini Nampak jelas pada kelompok-kelompok agama fundamentalis yang memegang teguh ajarannya. Sebagaimana aliran Kristen karismatik yang mempertahankan extra ecclesiam nulla salus (tidak ada keselamatan di luar gereja) ataupun kelompok Islam garis keras yang melihat agama-agama lain sebagai “yang kafir” dan adalah tugas mulia bagi mereka, jika mereka menjalankan perang suci (jihad) dengan memusnahkan “yang kafir” dari muka bumi. Hal ini jelas terlihat pada berbagai tindakan terorisme yang terjadi di Indonesia dengan mengusung ajaran dan ayat-ayat Al-Quran.
Agama yang berupaya untuk menghapus “yang lain” seperti yang terjadi di Indonesia menempatkan klaim mutlak dan superior dari satu agama terhadap agama yang lain. Samosir[7] menyebutnya sebagai pola “either-or” yang hanya memposisikan satu agama saja yang benar, yang lainnya salah. Tidak mungkin keduanya benar, karena akan kontradiktif pada dirinya sendiri. Fakta sejarah telah membuktikan pola ini. Lewat Perang Salib, kepentingan politik dibalut dengan perasaan saleh yang “mengharuskan” adanya penyingkiran bangsa Arab yang muslim dari tanah suci Palestina.
Jika apa yang terjadi sekarang akan terus berlanjut, maka agama-agama di Indonesia dapat mati? Mengapa? Dengan menelusuri sejarah agama-agama di dunia, kita dapat melihat kembali bagaimana agama-agama Mesir Kuno dan Persia, Yunani dan Romawi Kuno memegang peranan penting dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat. Tapi kemudian agama-agama ini musnah, karena mereka tidak mampu menjawab tantangan-tantangan pada zamannya. Ada jurang yang cukup besar antara “bahasa agama” dan bahasa manusia. Disini agama terperangkap dalam sisi yang memperbudak dirinya sendiri. Agama menjadi otoriter dan perintah-perintah agama terlampau mengikat sehingga bukannya menjadi sukacita tapi menjadi beban bagi para pengikutnya. Agama hanya menjadi seperangkat ajaran kaku yang memenjarakan umatnya dalam tembok tebal dan melupakan apa yang disekelilingnya. Karena itu, tidaklah heran kita mendapati eksklusivisme agama tingkat tinggi yang menyepelekan keberadaan “yang lain” sebagai yang sama dengan dia. Dengan demikian apa yang disampaikan oleh Hans Kung benar bahwa “tidak ada damai di muka bumi ini, kalau agama-agama tidak berdamai.”[8] Kalau agama bersikukuh untuk tetap berada di jalur ini, saling bersitegang, klaim absolut, fanatisme berlebihan tanpa memberi peluang bagi perdamaian, maka lambat laun agama akan mati.
Kalaua agama tidak ingin mati, maka agama harus menampilkan wajah pembebasan, pembebasan terhadap klaim kemutlakan yang meremehkan keberadaan agama lain, inspirator untuk terjadinya inovasi dan pembaharuan dalam masyarakat. Agama juga harus hadir sebagai yang membangkitkan kesadaran sebuah masyarakat yang berada dalam penindasan untuk bangkit melawan dan mengubah nasibnya.
Berkaitan dengan pembebasan terhadap klaim kemutlakan, yang kemudian mendorong penulis untuk bertanya: bagaimana seharusnya sikap yang harus dibangun antar-agama? Dalam Teologi Kristen, kita mengenal adanya 3 sikap/posisi yaitu eksklusivisme, inklusivisme dan pluralisme yang menurut penulis dapat diadaptasi dengan melihat kondisi kehidupan beragama di Indonesia.
-   Eksklusivisme: ketika satu agama menganggap bahwa dalam agamanya saja yang ada keselamatan, agamanyalah yang paling benar.
-      Inklusivisme: Ketika satu agama bersikap menerima keberadaan agama lain, tetapi tetap menjadikan ajaran agamanya sebagai barometer keselamatan agama-agama lain.
-      Pluralisme: Tuhan (apapun sebutannya dalam agama-agama) adalah misteri yang tak tertebak. Keberadaan Tuhan dan keselamatan-Nya tidak dapat dibatasi oleh agama apapun. Oleh karena itu diantara satu agama dengan agama yang lain dapat melihat Tuhannya sebagai perwujudan dari simbol yang sama dalam person yang berbeda, entah itu: Allah, Yesus, Buddha, Rama, Krishna, dll.
Ketika agama-agama di Indonesia menampilkan elemen pluralis dan menerima keberadaan agama yang lain sebagai yang sama dengannya, maka terbuka kemungkinan untuk adanya “perjumpaan di serambi iman.”[9] Bagi penulis, perjumpaan di serambi iman ini merujuk pada dua hal:
-      Adanya konsensus bersama yang dibangun antara agama-agama di Indonesia, dengan mempertimbangkan nilai-nilai apa dari masing-masing agama yang dapat dipakai untuk menunjang relasi antar-umat beragama di Indonesia. Yang diperlukan disini adalah tampilnya agama-agama sebagai “agama yang terbuka,” yang nampak dari sikap batin (an invard disposition) dan relasi lahiriah (an outward relation).[10] Sikap batin yng dimaksudkan disini adalah kesediaan dan ketetapan hati untuk mempertimbangkan pandangan orang lain dengan jalan menggunakan kemampuan untuk berempati terhadap berbagai reaksi dan dorongan sesama dari kelompok agama manapun, serta merasa turut memiliki apa yang mereka hormati dan anggap suci. Sikap keterbukaan ini harus dilanjutkan dengan meningkatkan kesadaran bersama untuk meninggalkan norma-norma yang akan mengingkari relasi persaudaraan, penyingkiran pengharapan bersama dan mengikis habis segala bentuk dorongan yang enggan untuk hidup bertetangga secara baik dengan siapapun dari latar belakang agama dan iman apa pun.
-  Dialog antar-umat beragama. Sikap keterbukaan yang telah dibangun diatas akan mendorong umat beragama untuk terlibat dalam satu dialog yang memungkinkan untuk melihat realitas konflik antar-umat beragama yang pernah dan sedang terjadi, dan merundingkan bersama relasi seperti apa yang ingin dibangun?
-  Pancasila sebagai agama sipil. Umat beragama di Indonesia harus menyadari keberadaannya dalam satu payung besar yaitu Pancasila, yang didalamnya terkandung nilai-nilai toleransi, solidaritas, kesederajatan yang memungkinkan umat beragama merasakan adanya semangat persatuan. Pancasila yang sama juga mampu diwujudnyatakan tidak saja dalam kehidupan beragama tapi juga bermasyarakat, tidak ada dominasi, tidak ada superioritas dan tidak ada yang tertindas. Keberadaan Pancasila sebagai agama sipil dimungkinkan karena 3 hal,[11] yaitu: pertama, kondisi pluralitas agama di Indonesia tidak memungkinkan adanya agama negara yang memungkinkan seluruh masyarakat menggunakannya sebagai sumber makna general. Tetapi, bagaimanapun juga kedua, masyarakat dihadapkan pada kebutuhan untuk melekatkan sebuah makna pada seluruh aktivitasnya, khususnya ketika aktivitas itu berkaitan dengan individu dari berbagai latar belakang agama. Oleh karena itu, ketiga, diperluka sebuah system makna pengganti, dan jika telah ditemukan (Pancasila) mereka yang aktivitasnya difasilitasi oleh system tersebut akan memujanya. Menurut penulis, Pancasila dan konteks Indonesia fit dengan ketiga syarat diatas, karena itu kehadiran Pancasila sebagai agama sipil (pengayom dan pelindung dengan nilai-nilai yang terkandung didalamnya) baik adanya.

Kesimpulan
Perjalanan panjang bangsa Indonesia di satu sisi menunjukkan adanya berbagai perkembangan dan kemajuan, tetapi dalam perjalanan yang sama juga diwarnai dengan berbagai kerusuhan dan konflik atas nama agama. Pluralitas agama di Indonesia yang seharusnya menjadi keuntungan malah menimbulkan kerugian yang besar. Tidak tersebutkan berbagai kasus pelanggaran kebebasan beragama dan kematian yang mengusung pembelaan terhadap agama tertentu. Jika kehidupan antar-umat beragama di Indonesia terus-menerus demikian, maka tepat jika kita bertanya: mau kemana agama-agama ini berjalan? Penulis menyimpulkannya sebagai jalan menuju kematian dan kehidupan. Agama akan mati jika terus-menerus menampilkan wajah yang memperbudak. Memperbudak orang dengan doktrin yang membuat adanya aliran garis keras dengan fanatisme dan eksklusivisme, menolak keberadaan “yang lain” ataukah agama dengan wajah membebaskan, yang merangkul keberadaan “yang lain” sebagai yang sama dengan dirinya, bersikap toleran dan menerima adanya dialog bahkan menempatkan Pancasila sebagai agama sipil, dasar bersama untuk saling berterima sebagai “sesama” dalam hidup di tanah Indonesia.



KEPUSTAKAAN
Buku
1980 Bellah, Robert N., & Philli E. Hammond, Varieties of Civil Religion, San Franscisco: Harper & Row Publisher.
2001 King, Richard., Agama, Orientalisme dan Poskolonialisme, Yogyakarta: Penerbit Qalam.
2002 Yewangoe, A.A., Iman, Agam dan Masyarakat, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
2006 Aritonang, Jan S., Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, Jakarta: BPK Gunung Mulia
2008 Woly, Nicolas, J., Perjumpaan di Serambi Iman, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
2009 Yewangoe, A.A., Tidak Ada Penumpang Gelap, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
 ---------------------., Tidak ada Negara Agama, Jakarta : BPK Gunung Mulia.
 --------------------., Tidak ada Ghetto, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
2010 Samosir, Leonardus., Agama dengan Dua Wajah, Jakarta: Penerbit Obor.

Internet
http://anbti.org/2010/03/eksistensi-%E2%80%9Cagama-asli-indonesia%E2%80%9D-dan-perkembangannya-dari-masa-ke-masa/, diunduh tanggal 12 Agustus 2010.

http://media.isnet.org/islam/Etc/Durkheim.html, diunduh tanggal 12 Agustus 2010.
http://anbti.org/?p=939, diunduh tanggal 13 Agustus 2010.


[1] Dikutip dari A.A. Yewangoe, Tidak Ada Penumpang Gelap, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009, hal. 228.


[2] Lihat Richard King, Agama, Orientalisme dan Poskolonialisme, Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2001, hal. 67-68. Band. http://anbti.org/2010/03/eksistensi-%E2%80%9Cagama-asli-indonesia%E2%80%9D-dan-perkembangannya-dari-masa-ke-masa/, diunduh tanggal 12 Agustus 2010.


[3] http://media.isnet.org/islam/Etc/Durkheim.html, diunduh tanggal 12 Agustus 2010.

[4] http://anbti.org/?p=939, diunduh tanggal 13 Agustus 2010.


[5] Yewangoe….., hal. 231.

[6] Leonardus Samosir, Agama dengan Dua Wajah, Jakarta: Penerbit Obor, 2010, hal. 87-93. Band. Yewangoe….., hal. 231.


[7] Ibid,.

[8] Ibid.

[9] Nicolas J. Woly, Perjumpaan di Serambi Iman, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008.


[10] Ibid., hal. 346-347.

[11] Philip E. Hammond, Bentuk-bentuk Elementer Agama Sipil, dalam Robert N. Bellah dan Phillip E. Hammond, Varieties of Civil Religion, San Franscisco: Harper & Row Publisher, 1980, hal. 185.




tulisan ini, di kutip dari Komunitas Aer Itam 25 Juni 2011

1 komentar:

  1. Tulisan yang menginspirasi, saya suka (http://iwayanmudita.blogspot.com)

    BalasHapus