PENGANTAR
Tulisan
singkat ini merupakan salah satu masukan bagi diskusi-diskusi di Komar Itam yang
menurut hemat saya semakin menunjukan perkembangan yang positif. Melalui postingan
ini saya berharap bahwa diskusi kita ke dihari-hari mendatang lebih terarah dalam
rangka mencari titik temu dalam argumentasi-argumentasi yang sehat dan jauh
dari pretensi negatif.
Topik yang
saya pilih kali ini adalah TEORI DASAR PEMBENARAN. Sejatinya topik ini merupakan
sebuah “hard topic” yang biasanya dikaji dalam bidang logika dan filsafat ilmu terutama
dalam domain epistemologi. Walaupun demikian, saya mencoba untuk menyederhanakan
penjelasan topik ini dengan style bahasa yang “agak gaul” dengan harapan kita
semua bisa menyelami intisari dari teori pembenaran.
Apa yang
dimaksudkan dengan Teori Dasar Pembenaran adalah, prinsip-prinsip dasar yang
perlu dipatuhi dalam membangun sebuah argumentasi pembenaran. Atau dengan kata lain,
teori dasar pembenaran adalah, prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu
penyataan yang dipandang benar. Pada tataran praktis, teori dasar pembenaran
ini berhubungan erat dengan hukum dasar penyimpulan yang menjadi domain
logika.
Terkait dengan
teori dasar pembenaran ini, maka pada bagian pertama ini saya akan secara
ringkat membahas tentang teori Fondasionalisme yang banyak digunakan
akhir-akhir ini terkait dengan upaya mengkonstruksi sebuah pembenaran.
A.
FONDASIONALISME: Beberapa Asumsi Dasar
Fondasionalisme
adalah teori pembenaran yang didasarkan pada anggapan dasar bahwa, klaim
kebenaran terhadap sesuatu perlu didasarkan pada fondasi atau basis yang kokoh,
dan jelas dengan sendirinya sehingga tidak membutuhkan koreksi lebih lanjut.
Fondasi yang dimaksud oleh para penganut teori pembenaran ini biasanya berbentuk
intuisi akal budi atau persepsi indrawi. Ungkapan seperti: “menurut pendapat
saya”, “menurut penglihatan saya”, “perasaan saya mengatakan.....” adalah
pernyataanpernyataan pembenaran yang berasal dari paham fondasionalisme ini. Secara
umum para penganut teori fondasionalime mebedakan dua macam “kepercayaan” dalam
pembenaran yaitu, KEPERCAYAAN DASAR dan KEPERCAYAAN SIMPULAN. Kepercayaan dasar
adalah kepercayaan yang sudah jelas dengan sendirinya, sehingga dapat digunakan
sebagai fondasi bagi kepercayaan lain yang bersifat simpulan.
Kepercayaan
dasar seperti ini bisa dicermati pada kebenaran transenden yang berhubungan dengan
hakikat dan keberadaan Tuhan yang tidak memerlukan bantahan. Kepercayaan simpulan
adalah kepercayaan yang disimpulkan dari satu atau lebih kepercayaan dasar. Misalnya,
semua yang diciptakan Tuhan baik adanya (simpulan dalam riwayat hari-hari penciptaan).
Fondasionalisme
dapat dikatakan sebagai sebuah teori pembenaran struktural, sebab simpulan-simpulan
yang dibangun didasarkan pada kepercayaan dasar yang sudah benar pada dirinya
sendiri. Dengan perkataan lain, jika kepercayaan dasar benar, maka simpulan yang
dibangun juga benar (bnd. Simpulan riwayat penciptan dalam Kej. 1). Secara
substantif, model pembenaran ini terdapat dalam dua teori dasar tentang
kebenaran yaitu kebenaran Tuhan (transenden) dan kebenaran alam4. Berdasarkan
karakteristk semacam ini, maka pada dasarnya padangan fondasionalisme mengenai
pembenaran bersifat searah dan cenderung asimetris.
Persoalan yang
kemudian muncul adalah, mengapa sebuah argumentasi pembenaran harus
dikembalikan pada kepercayaan dasarnya? Menurut kalangan fondasionalis ada beberapa
alasan mengapa sebuah argumentasi pembenaran perlu dikembalikan pada keercayaan
dasarnya.
PERTAMA:
menghindari terjadinya infinite regress argument atau penarikan mundur sebuah
argumentas secara berulang. Bentuk argumentasi berulang ini biasanya muncul
dalam penjelasan yang berputar-putar atanpa arah yang jelas. Dalam kehidupan
nyata analogi infinite regress argument ini dapat dipadankan dengan fenomena
“cinta segi tiga” atau paham politeisme dalam agama. Bagi para fondasionalis,
tidak mungkin sebuah kebenaran didasarkan pada dua atau lebih kepercayaan
dasar, sebab jika ini terjadi maka kepecayaan dasar lainnya menjadi lenyap
sehingga tidak adalagi kebenaran.
Misalnya: A
menjalin hubungan cinta dengan B, C, dan D. Ketika bertemu dengan B, A mengatakan
bahwa ia benar-benar mencintai B. Bertemu dengan C dan D, A juga mengatakan hal
serupa. Bagi para fondasionalis, kebenaran yang dibangun atas kepercayaan dasar
semacam ini tidak dapat dipertanggungjawabkan karena, ketika si A mengakatakan
bahwa ia benar-benar mencitai C maka pada saat yang sama, ia tidak lagi
mencintai B. Begitu pula ketika ia mengatakan ia benar-benar mencintai D, maka
pada saat yang sama ia tidak mencintai C dan B Inilah yang disebut infinite
regress argument.
KEDUA:
menghindari terjadinya SKEPTISISME pengetahuan. Melalui kepercayaan dasar sebagai
fondasi yang tidak membutuhkan pembenaran yang lain, maka sebuah kepastian
pengetahuan akan lebih mudah dicapai. Ini biasanya berlaku dalam hukum alam, dan
logika matematik.
Misalnya:
Hujan turun bumi pasti basah. Dengan kepercayaan dasar semacam ini akan lebih
mudah menjelaskan korelasi antara pengetahuan tantang tanah yang basah dengan
hujan.
Dalam matematika misalnya ada hukum yang mengatakan bahwa:
• + dikalikan
+ = +
• + dikalikan
- = -
• - dikalikan
- = +
Dengan
kepercayaan dasar matamatika tersebut, maka akan lebih mudah untuk mengetahui,
operasi dasar aljabar.
Teori
pembenaran fondasionalisme merupakan teori pembenaran yang paling lasim digunakan
bahkan dalam kehidupan sehari secara sdar atau tidak teori ini digunakan untuk melakukan
justifikasi terhadap sesuatu. Secara kategorial, teori pembenaran ini dibagi menjadi
dua bagian yaitu: fondasionalisme “kaku” dan fondasionalisme moderat. Bagi para
penganut fondasionalisme kategori pertama, agar kepercayaan dasar yang menjadi
fondasi pembenaran pengetahuan merupakan kepercayaan yang tak dapat keliru, dan
tak dapat dikoreksi lagi, maka sebuah argumentasi pembenaran harus merujuk pada
kepercayaan tertentu sebagai “genus proximum” sehingga dapat dijadikan landasan
bagi inferensi logis dari kepercayaan dasar tersebut. Beberapa tokoh hard
fondasionalism yang dapat dicatat antara lain, Descartes, Leibniz, dan Spinoza
dari kalangan rasionalis; Locke, Berkeley, dan Hume dari kalangan empiris;
serta Russell, Ayer, dan Carnap dari kalangan positivis logis.
Berbeda dengan
fondasionalisme kategori pertama, para penganut fondasionalisme moderat
berpendapat bahwa, suatu kepercayaan dapat disebut kepercayaan dasar dan menjadi
fondasi pembenaran pengetahuan jika secara intrinsik memiliki probabilitas atau
kementakan kebenarannya tinggi. Melalui kata kunci kebenaran probabilitas
semacam ini, para penganjur fandasionalisme moderat tidak menuntut adanya
implikasi logis atau induksi penuh. Apa yang paling diperlukan adalah
“penjelasan terbaik” yang dapat diberikan berdasarkan sebuah kepercayaan dasar.
Hampir sebagian besar fondasionalis kontemporer mengikuti jenis fondasionalisme
ini, dan tidak ketinggalan teman-teman Komar Itam juga menggunakan cara yang
serupa.
B. EVALUASI TERHADAP FONDASIONALISME
Fondasionalisme
adalah teori pembenaran paling terkenal dalam epistemologi. Hal itu tidak
berlebihan karena teori ini memang cukup menarik sebab memiliki basis empiris pada
pengalaman, baik indrawi maupun reflektif, sebagai sumber pengetahuan tentang
realitas dan pembenarannya. Kekuatan indrawi merupakan kekuatan utama untuk meperoleh
informasi, sementara “penalaran intuitif” dipandang sebagai alat analisis
terkait dengan pertanggungjawaban terhap klaim kebenaran. Hal ini dapat
dimengerti sebab, ketika berbicara tentang pertanggungjawaban kebenaran,
biasanya orang lalu akan mencari alasan dari sumber pengetahuan tersebut. Upaya
pencarian penjelasan dari sumber tunggal semacam ini, menyebabkan teori ini
terlihat sangat cocok untuk melakukan klaim pembenaran. Model pembenaran
semacam ini sangat cocok untuk membangun klaim pembenaran terhadap esensi Tuhan
yang transenden, serta esensi kebenaran alam. Selain menarik, teori pembenaran
ini juga tidak lepas dari kritik, sebab:
PERTAMA, hard fondationalism dengan berbagai
tuntutannya seperti yang telah dipaparkan, hampir mustahil untuk terpenuhi.
Jika tuntutan-tuntutan tersebut tetap dipaksakan, maka apa yang dapat diklaim
sebagai pengetahuan yang benar menjadi hampir tidak ada. Implikasinya adalah,
kepercayaan-kepercayaan lain yang didasarkan atasnya menjadi amat sedikit dan orang
menjadi skeptis terhadap kenyataan dari luar, persepsi, kepercayaan berdasarkan
ingatan, induksi, dll. Di sisi lain, fondasionalisme moderat ternyata kurang
memberi pendasaran yang kuat bagi klaim kebenaran yang diperlukan. Dengan
demikian ia menjadi mirip dengan koherentisme moderat.
KEDUA,
pembedaan antara kepercayaan dasar dan kepercayaan simpulan dalam kenyataan
juga sulit, sebab apa yang diklaim sebagai kepercayaan dasar, kebenarannya tidak
selalu sudah jelas dengan sendirinya bagi setiap orang. Ukuran sebuah
kepercayaan untuk dapat dikatakan sebagai kepercayaan dasar tidaklah jelas. Di
samping itu, fondasi bagi tiap fondasionalis juga tidak satu dan sama. Apa yang
diklaim oleh seorang fondasionalis sebagai kepercayaan dasar yang benar dengan
sendirinya, tidak selalu merupakan kepercayaan dasar pula bagi fondasionalis
yang lain (ini tampak jelas dalam dikusi terkait dengan ST yang diposting oleh
ka Tesar). Pada tataran realitas, apa yang diklaim sebagai kepercayaan dasar
ternyata juga merupakan simpulan dari kepercayaan-kepercayaan yang lain,
sehingga sulit menemukan sebuah kepercayaan dasar tunggal, kecuali masalah transendensi
Tuhan dan esensi kebenaran alam.
KETIGA,
masalah infinite regress argument tidak dapat dipandang seagai argumen konklusif,
sebab dalam argumen tersebut hanya mengandaikan dua asumsi saja, (1) berhenti
pada suatu kepercayaan dasar atau (2) tidak berakhir sama sekali. Pada umumnya fondasionalisme
menggunakan asumsi yang pertama, padahal masih ada kemungkinan yang lain, yaitu
alasan atau dasar yang saling mendukung antara kepercayaan yang satu dengan kepercayaan
yang lain tanpa jatuh ke “lingkaran setan”.
... BERSAMBUNG KE
BAGIAN II...